Ramadhan Tiba, Tapi Hutang Puasa Tahun Lalu Masih Tersisa
Ramadhan di depan mata, namun hutang puasa tahun lalu masih ada. Bagi ibu hamil dan menyusui, apalagi yang terus berada dalam kondisi itu selama beberapa tahun berturut-turut, topik ini tentu tak asing di telinga. Lalu bagaimana fikih Islam menjelaskan hal ini?
Sebelum membahas jauh hal tersebut, perlu diketahui bahwa seorang wanita yang mengambil rukhshoh untuk tidak berpuasa karena hamil atau menyusui apapun alasannya tetap wajib untuk meng-qadha’ puasanya lain hari.
Ketentuan Bagi Orang yang Memiliki Tanggungan Puasa
Seseorang yang memiliki tanggungan puasa Ramadhan memiliki kewajiban untuk mengganti (qadha’) puasanya. Jika dulu ia meninggalkan puasanya tanpa udzur, maka baginya qadha’ ‘alal faur, yaitu langsung mengganti puasa begitu Ramadhan usai atau pada tanggal dua Syawal.
Adapun jika tanggungan puasanya karena sebab udzur, seperti haid, nifas, sakit, safar, atau sebab hamil dan menyusui, maka baginya qadha’ ‘alat tarokhi, yaitu qadha’ yang boleh mengakhirkan pelaksanaannya. Artinya, mereka boleh mengganti puasanya kapan saja sampai sebelum datang Ramadhan berikutnya.
Apabila datang Ramadhan berikutnya, sedang ia masih memiliki tanggungan puasa tahun lalu, maka berikut ketentuannya ditinjau dari alasan keterlambatannya:
- Pengakhiran qadha’ karena udzur
Seseorang yang mengakhirkan qadha’ karena udzur, seperti safar terus menerus atau sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia tidak bisa menyelesaikan tanggungan puasanya sampai tiba Ramadhan berikutnya maka tidak ada ‘sanksi’ baginya atas keterlambatannya. Dia hanya wajib menyelesaikan sisa hutang puasanya.
- Pengakhiran qadha’ karena meremehkan (sengaja menunda)
Jika pengakhiran qadha’ dilakukan dengan sengaja, padahal memungkinkan baginya untuk menunaikan qadha’ sebelum datangnya Ramadhan, maka harus bagi dia membayar fidyah sejumlah puasa yang belum di-qadha’-nya. Dan fidyah keterlambatan ini berulang setiap tahun sampai seseorang lunas tanggungan puasanya.
- Disamping itu, ia harus segera menyelesaikan tanggungan puasanya begitu Ramadhan berakhir (hari kedua idul fitri). Sifat qadha’-nya menjadi ‘alal faur karena pada tahun sebelumnya ia sengaja menunda sehingga hukumnya seperti orang yang meninggalkan puasa tanpa udzur.
- Pengakhiran qadha’ karena jahil (tidak tahu)
Jika seseorang mengakhirkan qadha’ karena tidak tahu akan keharamannya, artinya ia tidak tahu jika batas maksimal qadha’ adalah sebelum datang Ramadhan berikutnya, maka baginya qadha’ saja tanpa membayar fidyah keterlambatan.
Adapun jika ia tahu akan keharaman pengakhiran qadha’ , namun tidak tahu jika hal tersebut mengharuskannya membayar fidyah keterlambatan, maka ia tetap harus membayar fidyah keterlambatan dan tetap wajib mengqadha’ puasanya.
Baca juga artikel kami BERBURU PAHALA DI BULAN RAMADHAN KETIKA HAID
Ketentuan Pembayaran Fidyah
Fidyah adalah pengganti yang harus dibayarkan karena sesuatu yang ditinggalkan. Fidyah puasa adalah memberi makan orang miskin sebanyak satu mud per-hari. Artinya jika jumlah tanggungan puasa adalah lima hari, maka baginya fidyah sebanyak lima mud.
Mud adalah takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa pada umumnya. Fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok suatu negeri, sebagaimana zakat fitri. Maka, idealnya fidyah bagi masyarakat Indonesia adalah beras, dimana satu mud beras setara dengan 600-700 gram.
Fidyah diberikan kepada orang miskin. Tidak ada ketentuan apakah satu mud untuk satu orang atau seluruh fidyah untuk satu orang. Hal ini dikembalikan kepada si pembayar fidyah.
Fidyah boleh dibayarkan setiap hari atau sekali waktu. Pembayaran fidyah paling cepat adalah pagi hari dimana seseorang tidak berpuasa dan tidak boleh dibayarkan sebelum tiba harinya. Waktu pembayaran fidyah adalah seumur hidup, namun (sebagaimana hutang) bersegera dalam membayar fidyah lebih utama dan lebih utama jika dibayarkan pada bulan Ramadhan karena pahalanya lebih besar.
Beberapa ContohKasus Sebagai Gambaran
Untuk memperjelas penjelasan hukum di atas, berikut beberapa contoh kasus sebagai gambaran:
- Kasus A
Umma memiliki tanggungan puasa sebanyak 25 hari. Qadarullah, ia sakit lama dan baru bisa mulai mengganti puasanya pada 15 hari terakhir bulan Sya’ban, sehingga tanggungan puasanya masih tersisa 10 hari saat Ramadhan berikutnya tiba. Dalam hal ini, Umma hanya berkewajiban melunasi hutang puasanya tanpa membayar fidyah karena keterlambatannya disebabkan adanya udzur.
- Kasus B
Ani memiliki hutang puasa selama 10 hari. Ia baru mengganti puasanya sebanyak 7 hari, lalu datang Ramadhan berikutnya. Maka, Ani harus meng-qadha’ puasanya yang 3 hari (mulai dari hari kedua pada bulan Syawal) dan membayar fidyah sebanyak 3 mud.
- Kasus C
Pada Ramadhan 1444, Ida memiliki hutang puasa selama 20 hari. Ia baru mengganti puasanya sebanyak 10 hari saat Ramadhan 1445 tiba, sehingga Ida harus membayar fidyah 10 mud karena keterlambatannya, dan tetap harus melunasi 10 hari puasanya. Kemudian saat Ramadhan 1446 tiba, ternyata hutang puasa Ida sejak tahun 1444 masih tersisa 2 hari. Maka dalam hal ini, Ida harus membayar 2 mud untuk keterlambatannya, dan tetap wajib membayar sisa hutangnya jika Ramadhan berakhir mulai dari hari kedua pada bulan Syawal.
- Kasus D
Seorang ibu memiliki hutang puasa selama 1 bulan penuh (30 hari). Ia berniat mencicil hutang puasanya setiap Senin dan Kamis. Namun ternyata, hutang puasanya belum selesai juga sampai datang Ramadhan berikutnya. Maka, si ibu tetap harus membayar fidyah atas keterlambatannya sejumlah hari yang belum di-qadha’-nya, dan harus segera melunasi hutang puasanya mulai dari hari kedua pada bulan Syawal.
Demikian pemaparan tentang ketentuan bagi seorang yang masih memiliki tanggungan puasa hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam beribadah dan mengampuni apa yang terluput dari kita. Aamiin. (Hajar Huwaida)
Referensi:
- Matan Abu Syuja’
- Kasyifatus Saja
- Sullamur Raja
- Nailur Raja
- Fiqh Islam wa Adillatuhu
- Mausu’ah Fiqiyyah Kuwaitiyyah