YANG HILANG DARI PIAGAM JAKARTA

0

Bulan ini masyarakat Indonesia memperingati kemerdekaan yang ke-79. Berpuluh tahun yang lalu, pada tanggal yang sama di tahun 1945 Ir. Soekarno dan Moh. Hatta mewakili bangsa Indonesia membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Tentunya atas rahmat Allah subhanahu wata’ala dan perjuangan para pahlawan serta pengorbanan masyarakat kala itu, Indonesia bisa berdiri sebagai negara berdaulat.

Pada perjalanannya, banyak sekali peristiwa penting yang terjadi mengiringi kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah penghilangan 7 kata dalam piagam Jakarta. Apa itu piagam Jakarta dan apa 7 kata tersebut?

Penulisan Piagam Jakarta

Piagam Jakarta merupakan rumusan dari pembukaan UUD 1945 yang disusun  oleh BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), lebih tepatnya panitia Sembilan di bawah naungan BPUPKI. Rumusan ini selesai pada tanggal 22 juni 1945 di Jakarta.

Panitia Sembilan terdiri dari 8 anggota yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Seluruh anggota panitia Sembilan ialah: H. Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Wahid Hasjim, Abdul Kahar Mudzakir ( keempatnya merupakan wakil dari golongan Islam), Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Soebardjo, Moh. Yamin (keempatnya merupakan wakil dari golongan kebangsaan), dan Alexander Andries Maramis yang merupakan golongan kebangsaan serta wakil dari Kristen.

Panitia ini dibentuk pada 18 Juni 1945 dan berhasil merumuskan pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan,  dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada paragraf terakhir terdapat 5 sila atau yang saat ini dikenal dengan Pancasila. Setelah diresmikan, K.H. Ahmad Sanusi dan Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya  dihilangkan menjadi  ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam. Usulan K.H. Ahmad Sanusi dan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan bagian dari panitia Sembilan ditolak oleh Bung Karno. Peristiwa ini terjadi pada 14 Juli 1945 dalam rapat pleno Dokuritsu Zyunbi TYoo Sakai. Bung Karno menolak usulan ini karna piagam Jakarta sudah disetujui oleh panitia sembilan.

Baca juga artikel kami Rajawali Quraisy; Abdurrahman Ad-Dakhil

Perumusan Dasar Negara

Setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keesokan harinya para founding father mengadakan pertemuan untuk merumuskan dasar negara, Pancasila, serta konstitusi Undang Undang Dasar 1945 bagi negara yang baru saja merdeka.

Pada pertemuan ini Bung Hatta mengusulkan untuk menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta. Yaitu kata dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya  pada sila pertama. Bung Hatta menjelaskan bahwa pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang Angkatan Laut Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa kelompok nasionalis beragama Kristen dari Indonesia Timur menolak tujuh kata karena dianggap diskriminatif terhadap penganut agama minoritas.  Mereka bahkan menyatakan lebih baik mendirikan negara sendiri.

Usulan Bung Hatta tidak disetujui oleh Ki Bagus Hadikususmo. Bahkan setelah dilakukan pendekatan oleh K.H. Wahid Hasyim, Ki Bagus tetap tidak merubah pendiriannya. Beliau tidak setuju tujuh kata tersebut dihilangkan dari piagam Jakarta. Pada akhirnya pendekatan atau pembujukan dilakukan oleh Mr. Kasman Singodimejo yang juga berasal dari Perserikatan Muhammadiyah.

Menggunakan Bahasa Jawa halus, Mr. Kasman menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang terjepit antara dua kekuatan penjajah, tantara Jepang dan sekutu. Kondisi ini merupakan kondisi darurat dan mengharuskan Indonesia segera memiliki Undang Undang Dasar dan dasar negara yang tetap. Belum lagi penentuan presiden serta segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan. Sementara waktu untuk mempersiapkan itu semua tidaklah banyak. Maka bagaimana akan terlaksana jika para pemimpin pemimpin negara ini saling cekcok.

Mr. Kasman meyakinkan Ki Bagus bahwa tidak apa apa jika umat Islam saat ini mengalah dengan terhapusnya tujuh kata demi kemenangan cita-cita bersama. Demi tercapainya Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang, tentram, dan diridhai Allah.

Ki Bagus akhirnya menyetujui dihilangkannya tujuh kata tersebut dengan syarat sila pertama ditambahkan kata Yang Maha Esa. Syarat ini disepakati hingga menjadi sila pertama sebagaimana yang dikenal saat ini yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Waallahu ‘alam bisshowab. (Nur Jihan/An-Najma.com)

Leave A Reply

Your email address will not be published.