Seorang pemimpin yang selalu dipuji dengan hal-hal baik oleh kawan dan orang terdekatnya itu adalah hal biasa. Menjadi luar biasa adalah ketika seorang pemimpin dipuji oleh musuh dan hal ini sangat jarang terjadi. Pujian yang jujur dari musuh membuktikan betapa bagus kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin. Dari beberapa tokoh dunia yang mendapat keistimewaan ini, tokoh yang akan kita bahas kali ini salah satunya adalah Abdurrahman Ad-Dakhil.
KELAHIRAN DAN NASABNYA
Ia adalah Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. Ibunya adalah seorang ummu walad (budak yang melahirkan anak dari tuannya) bernama Raha, berasal dari kabilah Barbar bernama Nafzah.
Abdurrahman lahir pada tahun 113 H di kota Deir Khanan, Qinasrin dekat dengan Aleppo.
PERTUMBUHANNYA
Ayah Abdurrahman meninggal saat ia masih kecil. Ia diasuh oleh kakeknya, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ia tumbuh besar di istana kekhalifahan Umawiyah. Saat ia sudah tumbuh sebagai pemuda, kaum Abbasiyyun memberontak pada kaum Umawiyyun. Mereka membunuh seluruh laki-laki dewasa dari kalangan Umawiyyah dan membiarkan hidup para wanita dan anak anak. Peristiwa ini terjadi pada tahun 132 H.
Abdurrahman menjadi salah satu buronan yang ditargetkan oleh kaum Abbasiyyun. Abdurrahman pun melarikan diri dari tempat tinggalnya di Syam menuju Irak. Tak beristirahat lama, desa tempat ia tinggal bersama keluarganya sedah dikepung oleh tentara Abbasiyyah. Bersama adik laki-lakinya, Abdurrahman melarikan diri dengan cepat. Ia meninggalkan seluruh keluarga bahkan anaknya yang masih berusia 4 tahun.
Abdurrahman dan saudaranya, Hisyam berhasil tersusul oleh tentara Abbasiyah di tepi sungai Eufrat. Tidak ada pilihan lain, keduanya menceburkan diri ke sungai dan mulai berenang. Tentara Abbasiyah meneriaki mereka dan menjamin keamanan mereka jika keduanya mau kembali dan menyerahkan diri. Abdurrahman tidak peduli, tetapi adiknya Hisyam sudah kelelahan dan tidak bisa berenang. Hisyam pun memutuskan untuk kembali meski kakaknya sudah memotivasinya untuk terus berenang dan memperingatkannya. Begitu Hisyam sampai di tepi sungai Eufrat, tentara Abbasiyah membunuhnya di depan mata Abdurrahman.
Abdurrahman meneruskan pelariannya ke Afrika. Ia tidak melewati masa ini dengan tidak mudah. Selain tebayang oleh kejaran kaum Abbasiyyun, kepalanya juga dicari-cari oleh pemimpin negri Maghribi yang merasa terancam kekuasaannya dengan kedatangan Abdurrahman ke negerinya. Begitu juga kaum Khawarij yang sangat membenci kalangan Umawiyyun sehingga memaksanya untuk segera menyebrang menuju Andalusia. Satu-satunya tempat di mana pendukung Umawiyah masih ada.
Baca juga artikel kami Muhasabah itu Penting
ABDURRAHMAN DI ANDALUSIA
Pada tahun 136 H, Abdurrahman mengutus budaknya bernama Badr untuk meneliti dan mempelajari keadaan Andalusia. Ia juga mengirimkan surat pada pendukung Umawiyah di sana. Ia menjelaskan tujuannya hendak menguasai Andalusia dan memaparkan idenya pada mereka.
Andalusia saat itu sedang dilanda perpecahan antar kaum muslimin akibat fanatisme kesukuan. Pemimpin terakhir Andalusia adalah Yusuf bin Abdirrahman Al-Fihr. Abdurrahman mengalahkannya dalam peperangan Al-Mansharah. Ia bahkan menguasai Cordova, ibukota Andalusia saat itu. Ia bersikap baik pada keluarga Yusuf Al-Fihri, tidak menawan mereka dan mempersilakan mereka meninggalkan kota dan membawa barang-barang mereka. Mulai sejak saat inilah ia digelari dengan sebutan Ad-Dakhil, karena ia adalah orang pertama dari kalangan Umawi yang masuk ke Andalusia sebagai pemimpin.
PUJIAN DARI ABU JA’FAR AL-MANSHUR
Sebagaimana yang sudah disebutkan di awal. Abdurrahman pernah dipuji oleh rival dan musuhnya, Abu ja’far Al-Manshur. Suatu hari, khalifah Abu Ja’far Al-Manshur bertanya kepada para bawahannya, “Beritahu aku siapa yang di maksud dengan Rajawali Quraisy!”.
Mereka menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah orang yang menundukkan kerajaannya, meredakan pemberontakan, memperbaiki kerusakan, dan membasmi musuh-musuhnya.”
“Kalian belum menjawab apapun,” kata Abu Ja’far.
Mereka menjawab, “Dia pasti Mu’awiyah.”
“Bukan, ” kata Abu ja’far.
“Kalau begitu Abdul malik bin Marwan”
“Bukan”
“Lalu siapa wahai Amirul mukminin?”
Akhirnya Abu Ja’far menjawab, “Dia tidak lain adalah Abdurrahman bin Mu’awiyah yang telah menyeberangi lautan, melintasi padang tandus, masuk ke negeri asing sendirian, mendiami kota demi kota, membentuk pasukan dan kementrian, serta mendirikan kembali kerajaannya setelah sempat terputus, dengan pengaturan dan pengendalian yang bagus.”
Abdurrahman wafat pada 172H di Cordova. Umurnya saat itu adalah 59 tahun. Ia menjalani hidupnya selama 19 tahun sebelum terjatuhnya daulah Umawiyah, 6 tahun dalam pelarian dan 34 tahun memegang kekuasaan keemiratan Andalusia. Semoga Allah merahmatinya. Aamiin. (Nur Jihan/An-Najma.com)