Hukum Menikah Ketika Masa Iddah dan Konsekuensinya

0

Syariat telah menetapkan kewajiban iddah bagi para wanita setelah talak (perceraian). Baik iddah karena talak maupun karena ditinggal mati. Iddah adalah masa tunggu yang ditentukan oleh syariat bagi wanita yang berpisah dari suaminya.

 Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الكِتَابُ أَجَلَهُ

“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 235)

Ayat di atas menunjukkan atas keharaman akad dengan wanita dalam masa iddah.  Ulama bersepakat akan fasid (rusaknya) akad nikah dengan wanita dalam masa iddah dan kewajiban memfaskh akad tersebut.

Madzhab Maliki dan Hanbali

Madzhab Maliki dan Hanbali berpendapat jika keduanya telah melakukan akad dan membangun rumah tangga, pernikahan tersebut harus difasakh dan keduanya haram untuk menjalin hubungan pernikahan selama-lamanya. Jika mereka nikah, pernikahan keduanya tidak akan pernah menjadi halal. Pernyataan ini seperti keputusan Umar bin Khattab pada masa pemerintahnnya. Pengharam ini sebagai akibat atau hukuman bagi keduanya karen telah menghalalkan apa yang tidak dihalalkan, maka hukumannya adalah dengan pengharaman selamanya. Seperti halnya hukuman bagi pembunuh yaitu diharamkan baginya dari mendapatkan warisan.

Keputusan Umar bin Khattab

Ibn Mubarak meriwayatkan dengan sanad dari Masyruq. Masyruq berkata, “Telah sampai kabar kepada Khalifah Umar  bin Khattab sesungguhnya ada seorang wanita dari kalangan bani Quraisy yang menikah dengan seorang laki-laki dari bani Tsaqif pada masa iddahnya. Kemudian Umar bin Khattab mengirim utusan kepada keduanya, memisahkan, dan memberi hukuman untuk keduanya. Umar bin Khattab berkata, “Janganlah dia menikahi perempuan tersebut selamanya, dan masukkan maharnya ke baitul mal.”

Kabar tentang keputusan Umar sampai kepada Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Semoga Allah merahmati Amirul Mukminin, apa urusannya mahar dan baitul mal?”. Menurut Ali mahar tetap hak wanita tersebut atas jima’ yang telah mereka lakukan. Keduanya dipisahkan tanpa adanya hukuman jilid. Kemudian si wanita menyelesaikan iddahnya dari pernikahan dengan suami sebelumnya kemudian beriddah atas pernikahannya yang berlangsung ketika masa iddah tersebut, kemudian boleh  bagi laki-laki untuk mengkhitbahnya  jika telah selesai masa iddah dan si laki-laki tersebut ingin menikahinya. Ketika Umar mendengar keputasan Ali, Umar sepakat dengan keputusan tersebut.

Baca juga artikel kami Syeikh Bin Baz, Ulama Kontemporer dengan Segudang Ilmu

Madzhab Hanafi dan Syafi’i

Pernikahan dalam masa iddah harus difasakh. Kemudian jika telah selesai masa iddahnya maka boleh bagi laki-laki tersebut untuk mengkhitbahnya. Tidak ada pengharaman selamanya, karena pada asalnya tidak ada pengharaman kecuali apa yang telah tertulis dalam kitab, sunnah, maupun ijma’, sedangkan dalam masalah ini tidak ada pengharaman yang Allah tetapkan dalam ketiga dalil tersebut. Kedua madzhab ini juga berpendapat bahwasannya pelaku zina lebih keji daripada menikah dalam iddah. Jikalau zina tidak menyebabkan pengharam selamanya, tentu saja jima’ karena syubhat lebih pantas dengan tanpa adanya pengharaman. Waallahu a’lam [Fahita/an.najma.com]

Referensi:

  • Rawaih Al-Bayan
  • Bidayah Al-Mujtahid
Leave A Reply

Your email address will not be published.