Saifuddin Quthuz
(Sang Kesatria ‘Ain Jalut)
Biografi masa kecil Saifuddin Quthuz tampaknya terselubungi oleh sedikit kesamaran. Ada sekian banyak riwayat yang berbeda mengenai asal-usul Mamluk yang satu ini, di mana dia berpindah dari ikatan perbudakan menuju singgasana kesultanan Mamluk di Mesir dan Syam. Dia keluar dari barisan hamba sahaya yang ditawarkan di pasar budak untuk menjadi pemimpin barisan para mujahid melawan pasukan Tartar dalam pertempuran ‘Ain Jalut. Dia tampakkan pada mereka kelelahan telak sehingga memadamkan api kesombongan mereka yang sempat membakar belahan timur dunia Islam dan meruntuhkan kekhilafahan kaum muslimin di Baghdad.
Quthuz berasal dari keluarga bangsawan muslim, yaitu keluarga sultan Jalaluddin Khawarizmi Syah. Sumber sejarah meriwayatkaan bahwa nama aslinya adalah Muhammad bin Mamdud putra saudarinya Khawarizmi Syah. dari Dinasti Seljuk di mana kerajaannya di hancurkan oleh pasukan Tartar. Dia termasuk rombongan anak kecil yang dibawa oleh orang-orang Tartar menuju Damaskus untuk mereka jual di pasar budak. Kata ‘Quthuz’ sendiri berarti anjing dekil dalam bahasa mongol, inilah nama panggilan untuk Mahmud bin Mamdud dari orang-orang yang menculik dan menjualnya.
Sosok sang kesatria
Para sejarawan menggambarkan Saifuddin Quthuz sebagai kesatria yang pemberani, penuh pertimbangan, pandai mengatur, taat menjalankan agama dan mampu meraih prestari besar dalam melawan pasukan Tartar. Sifat-sifat ini merupakan karakter yang paling dibutuhkan umat pada diri sang pemimpin.
Benturan pertama antara pasukan mongol dan dunia Islam terjadi pada tahun 1219 M, yaitu ketika menyerang negeri Alauddin Muhammad bin Khawarizmi Syah Takash. Peperangan terus berlangsung dengan kemenangan yang silih berganti tanpa hasil yang pasti hingga meninggalkan Jenghis Khan.
Tersisalah kesultanan Mamluk yang mana kala itu pemerintah ini sedang menghadapi berbagai persoalan mengenai legitimasi politik. Pada tahun 645 H, Hulagu Bersama pasukannya telah memulai wilayah Persia. Sebelumnya, ia juga telah mengirimkan banyak intel ke Baghdag. Dua tahun berikutnya Hulagu memerintahkan serangan terhadap kota Baghdad sehingga khilafah Abbasiyah al-Mu’tashim bertekuk lutut. Dia serahkan seluruh kotanya kepada musuhnya tanpa syarat. Hulagu juga merampas Damaskus dan Aleppo setelah 7 hari melakukan serangan, penghancuran dan penumpahan darah. Beberapa raja dari dinasti Ayyubiyah juga menyatakan ketundukkan kepada Hulagu sebagai upaya menghindari kehancuran.
Peperangan ‘Ain Jalut
Pada tanggal 23 Ramadhan 658 H Sultan Quthuz berangkat bersama seluruh pasukannya ditemani oleh Raja al-Manshur penguasa Hamah menuju Palestina. Dia serahkan tugas hariannya di Mesir kepada wakilnya al-Atabiq Farisuddin at-Aqthay. Quthuz memerintahkan Amir Rukhnuddin Baibars al-Bunduqdari memimpin anak buahnya yang dijadikan sebagai pasukan perintis menuju Gaza guna untuk mendapatkan informasi dari pasukan Tartar. Disaat yang sama, pasukan induk yang dipimpin Sulthan al-Muzaffar Saifuddin Quthuz sampai di Gaza.
Amir Rukhnuddin berinisiatif menyerang pasukan mongol yang bertujuan untuk memperdaya mereka guna menyembunyikan pasukan induk. Sementara itu, Qitbuqa dan Baidara selaku wakil Hulagu yang mengomandai pasukan mongol telah mengumpulkan semua battalion yang terpisah-pisah dari seluruh penjuru syam. Lalu dia gabungkan dalam satu pasukan besar untuk menghadapi pasukan Quthuz. Pemimpin mongol memutuskan untuk maju dengan segenap pasukan guna memerangi kaum muslimin. Pasukan Saifuddin Quthuz semakin bertambah banyak dengan beberapa gabungan prajurit dari syam dan Khawarizmi.
Demikianlah pasukan Islam dan Mongol bertemu. Pertempuran akhirnya benar-benar pecah di daerah bernama ‘Ain Jalut. Peperangan ini pecah disebabkan oleh beberapa peristiwa yang terjadi sejauh 4000 mil dari medan tempur. Peperangan ‘Ain Jalut yang hasil akhirnya berupa kekalahan telak pasukan Mongol. Peperangan ini juga menjadikan kesultanan Mamluk di Mesir dan Syam sebagai kekuatan utama setidaknya dua abad berikutnya hingga munculnya Imperium Utsmani.
baca lainnya : Maryam Jameela
Kesatria itu telah pergi
Sultan Quthuz meninggal di hari kepulangannya dengan membawa kemenangan yang besar. Pembunuhannya kemudian dinobatkan sebagai penggantinya. Padahal kota Kairo yang menjadi ibukota kesultanan tengah bersiap-siap menyambutnya. Demikianlah akhir tragis sang pahlawan asy-syahid Sultan Saifuddin Quthuz. Terlepas dari beberapa periwayatan dalam beberapa sumber, yang jelas rencana pembunuhan sultan merupakan ide dari Amir Rukhnuddin Baibars al-Bunduqdari. Setelah itu jenazah Quthuz dibawa ke kairo untuk dimakamkan di Zawiyah. Wallahu A’lam bish Shawwab (Himmasya/ an-najma.com)