Iqomatuddien Profesi Sepanjang Hayat
Beratnya konsekuensi yang harus ditangggung oleh setiap mukmin yang menjadikan iqomatuddien sebagai pilihan hidupnya, terkadang membuat jiwanya menjadi gentar untuk tetap istiqomah. Tidak jarang akhirnya futur bahkan berhenti sama sekali dan memilih untuk berpaling kepada tujuan duniawi.
Pada prinsipnya, urusan dien dan Islam itu bukanlah urusan main-main. Amal Islami bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan hanya pada saat seseorang memiliki waktu luang dan bisa ditinggalkan Ketika sibuk. Amal Islami terlalu agung dan teramat mulia jika diperlakukan seperti itu.
Perkara intima’ (bergabung) dengan dien serta menegakkannya merupakan perkara yang jauh lebih serius dibandingkan dengan pekerjaan duniawi semata. Perkara amal Islami dan intima’ kepadanya sama dengan perkara ‘ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, seorang muslim hanya boleh melepaskan diri dari amal Islami seiring dengan kepergiannya dari dunia ini. Bukankah Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman,
وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Qs. Al-Hijr : 99)
Iqomatuddien Tak Mengenal Usia
Para pendahulu kita, as-salafush shalih sangat memahami hakikat yang sederhana namun sangat urgen dalam dienullah ini. Sebagai contoh, kita dapati Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu masih berangkat ke medan perang dalam rangka iqomatuddien saat usia beliau sudah mencapai 90 tahun. Beliau memilih berperang bukan hanya mencukupkan diri dengan berdakwah, atau mengajar, atau beramal ma’ruf nahyi mungkar saja. Beliau berangkat ke medan tempur saat tulang-tulang beliau mulai rapuh, dengan tubuh yang telah rentan, rambut telah memutih, serta kekuatan yang sudah jauh berkurang.
Baca juga artikel kami Penyimpangan Syi’ah pada Asyuro’!
Adapula Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu masih membakar semangat para pasukan muslimin untuk berperang pada saat usia beliau sudah mencapai 70 tahun. Begitu juga Yaman dan Tsabit bin Waqasy, keduanya tetap berangkat ke medan Uhud walau telah lanjut usia, meskipun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menempatkan mereka Bersama dengan kaum wanita di belakang pasukan.
Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri telah melaksanakan 27 pertempuran? Semua pertempuran itu beliau jalani setelah usia beliau lebih dari 54 tahun. Bahkan Perang Tabuk, perang yang paling berat bagi kaum muslimin, diikuti dan dipimpin langsung oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam yang saat itu umurnya telah mencapai 60 tahun. Padahal kita telah mengetahui, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam meninggal pada usianya yang ke 63 tahun.
Lantas bagaimana dengan keadaan kita hari ini? Tidak sedikit kita dapati para ikhwah yang meninggalkan amal Islami setelah lulus kuliah, menikah, karena sibuk dengan keluarga, perdagangan, tugas, dan lain sebagainya. Padahal siapapun yang memahami hakikat dari iqomatuddien pasti telah mengetahui, bahwa ia merupakan sebuah amal yang dikerjakan sepanjang hayat dimana semua itu tidak luput dari ujian dan cobaan dari Allah ‘Azza wa jalla, agar Dia mengetahui siapa saja dari hamba-Nya yang bisa menghadap tanpa membawa dosa.
Berkenaan dengan hal ini, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu;
لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ أَوِ الْمُؤْمِنَةِ فِيْ جَسَدِهِ و َفِيْ مَالِهِ وَ فِيْ وَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللّهَ وَ مَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ
“Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad)
Lain halnya Ketika seorang mukmin atau mukminah mengundurkan diri dari menjalankan perannya dalam iqomatuddien setalah ia berjanji mengabdikan diri di dalamnya, terutama bagi orang yang telah mengerti kebenaran lalu berpaling darinya, atau bagi orang yang telah merasakan manisnya kebenaran lalu tenggelam dalam kebathilan, maka sungguh hal itu merupakan sebuah keburukan. Sesungguhnya membatalkan janji kepada Allah termasuk dalam dosa besar. Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman;
… وَمَنْ اَوْفٰى بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ اللّٰهَ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
“…Maka barang siapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri, dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.” (QS. Al-Fath :10)
Sesungguhnya perkara amal islami adalah perkara yang sangat urgen. Sangat disayangkan Ketika seseorang yang lemah imannya beranggapan bahwa amal Islami tak ubahnya bagai serikat dagang untuk suatu masa tertentu, sehingga setelah selesai masa kontraknya ia merasa tidak lagi berkewajiban untuk mengambil peran di dalamnya. Dikatakan lemah iman di sini adalah lantaran penyakit ini umumnya bermula dari lemahnya iman, sakitnya hati, lemahnya semangat, dan tidak mengakarnya iman yang terletak di dalam hati.
Kerusakan itu seringkali terletak dalam hati bukan akal, disebabkan oleh kurangnya iman bukan ilmu, dikarenakan syahwat bukan syubhat, dan buah dari cinta dunia bukan kurangnya kesadaran. Maka siapa saja yang ingin menjalani terapi atau berobat, ia mesti memperhatikan hatinya dan segera mengobati penyakit-penyakitnya itu.
Dari apa yang telah kami paparkan berkaitan dengan berbagai persoalan iqomatuddien di atas diharapkan kaum muslimin lebih waspada terhadap hal-hal yang dapat menjerumuskan dirinya dalam ketidak istiqomahan serta dapat menjadi motivasi agar lebih beriltizam dalam iqomatuddien. Wallahu ‘alam bis shawab (Ustadzah Qurrota ‘ayun/an-najma.com)