Mulia dengan Islam
Islam adalah agama yang memuliakan manusia. Semua manusia dihadapan Allah adalah sama. Entah itu ras kulit putih, kulit hitam, maupun kulit berwarna. Entah itu pejabat, pegawai, pekerja kasar, maupun masyarakat miskin, yang membedakan mereka hanyalah takwa. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat:13)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda,
لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَاَحْمَرَ وَلاَ أَسْوَدَ وَلاَ اَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَ بااتَّقْوَى.
“Tiada keutamaan bagi orang Arab atas orang non Arab, maupun non Arab atas orang Arab, juga orang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam, maupun orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah.” (HR. Ahmad)
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa kemuliaan dalam islam diukur dengan ketakwaan, bukan dengan ras atau status social. Orang yang mulia adalah orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa akan selalu berbuat adil, karena keadilan adalah pancaran dari ketakwaan. Banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan keadilan dari pribadi muslim yang bertakwa.
Keadilan Islam dalam Sejarah
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, putra Gubernur Mesir Amru bin ‘Ash terlibat perselisihan dengan seorang pemuda Kristen Koptik. Putra Gubernur itu kemudian memukul pemuda tadi dan berkata, “Aku adalah anak Gubernur.” Peristiea ini kemudian diadukan kepada Amiirul Mukminin Umar bin Khattab. Umar lalu mengirim surat kepada Amru bin ‘Ash berisi teguran keras, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan merdeka?” Umar memerintahkan agar anak Amru diqishos oleh pemuda Koptik tadi. Sang pemuda tidak percaya dengan keputusan Umar dan akhirnya dia masuk Islam.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Panglima Qutaibah bin Muslim ditugaskan untuk menaklukkan kota Samarkand yang penduduknya waktu itu masih beragama Nasrani. Qutaibah melaksanakan tugasnya dengan langsung menyerang Samarkand tanpa memberi tiga pilihan (masuk Islam,membayar jizyah, atau perang) kepada penduduknya terlebih dahulu. Para pendeta Samarkand tidak puas hati, lalu mengirim surat melaporkan hal tersebut kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan menuntut Qutaibah beserata tentaranya keluar dari Samarkand, karena mereka melakukan penaklukan tanpa mengikuti syari’at. Khalifah pun mengakui perkara ini, lantas mengarahkan agar tentaranya keluar dari Samarkand tanpa syarat. Tentara-tentaranya pun patuh untuk keluar. Masyarakat Samarkand yang menyakskan hal itu begitu terkesan dengan keadilan Islam, hingga merekaber ramai-ramai mengucakan dua kalimat syahadat.
Masih pada zaman Umar bin Abdul Aziz, Yahya bin Said ditugaskan untuk menarik zakat di Afrika. Selama sebulan penuh dia mencari-cari sekiranya ada orang miskin yang dapat diberi bagian zakat. Ternyata dia tidak menemukan orang miskin sama sekali. Ia tidak tidak menemukan orang yang mau mengambil zakat darinya. Akhirnya, uang zakat itu dia belikan budak dan budak itu ia merdekakan. Budak itu akhirnya setia pada kaum muslimin. Dalam periode kepemimpinannya yang cukup singkat, yaitu sekitar 2 tahun 5 bulan 5 hari, Umar bin Abdul Aziz berhasil membuat rakyatnya hidup sejahtera.
Baca juga artikel kami Nyai Sholihah Wahid Hasyim!
Ketenangan dalam Islam
Dalam Islam, orang mulia yang sejati adalah orang yang hidup penuh dengan harga diri dan ketenangan. Kedua hal ini adalah anugerah dari Allah yang diberikan-Nya kepada hamba Muslim yang senantiasa mendekat kepada-Nya. Seorang muslim akan bersikap sabar, tegar, dan tenang dalam menghadapi cobaan. Hal itu, karena dia menyakini bahwa segala perkara datangnya dari Allah dan akan kembali juga kepada Allah. Allah pasti memberi yang terbaik bagi hamba-Nya. Seorang Orientalis asal Prancis, Ronald Bodley, menuliskan kesaksiannya mengenai ketenangan orang-orang Islam dalam bukunya, Wind in The Sahara.
Bodley menetap pada tahun 1918 M di Afrika Utara bagian Barat Bersama penduduk muslim Badui nomaden. Mereka tetap mengerjakan sholat, berpuasa, dan berdzikir kepada Allah. Ia mengungkapkan apa yang disaksikannya Ketika bersana nreka, “Pada suaru hari, berhembuslah Badai Gurun yang kencang. Badai itu sangat panas, hingga saya merasa seperti orang yang sangat marah dan hampr gila, akan tetapi orang-orang Arab tidak merasa seperti itu sedikitpun. Mereka mengangkat bahu dan berkata,”Qadha yang telah ditetapkan.” Kemudian mereka bekerja kembali dengan penuh semangat. Pemimpin kabilah, seorang Syaikh mengatakan, “Kami tidak kehilangan banyak barang. Sesungguhnya kami diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu. Akan tetapi, Alhamdulillah dan syukur kepada-Nya, kami masih memiliki 40% ternak. Dengan semua itu kami dapat memulai pekerjaan baru.”
Tujuh tahun di padang pasir Bersama orang-orang Arab nomaden memahamkanku bahwa kegelisahan, penyakit psikis dan keresahan yang dialami orang-orang Amerika dan Eropa hanyalah akibat dari budaya modern yang menjadi pondasi dalam kehidupan mereka.” (Mahmud Al-Mishri, Laa Tahzan, hlm.33-35)