Nyai Shalihah Wahid Hasyim
Membangun keluarga, Mengabdi untuk bangsa
an-najma.com-Ditengah berkecamuknya perang untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, seorang perempuan pribumi ikut menyusup sampai ke garis depan. Perannya adalah sebagai kurir yang membawa pesan-pesan rahasia bagi para pejuang yang berada di garis depan, di daerah Mojokerto, Krian (Sidoarjo) dan Jombang. Sungguh dia berani. Pertempuran yang berkecamuk tampaknya tidak meyurutkan nyalinya. Semua itu dilakukan untuk membantu perjuangan melawan penjajah. Perempuan itu adalah Munawarah, yang kemudian dikenal dengan Nyai Shalihah Wahid Hasyim.
Kelahiran dan masa kecilnya
Nyai Shalihah Wahid, yang semasa kecil dikenal dengan Munawaroh, lahir di Jombang, 11 Oktober 1922. Beliau adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Lahir dari pasangan Kyai Bisri Syansuri dan Nyai Khodijah.
Sejak kecil, beliau hidup di lingkungan pesantren dengan pengawasan pendidikan yang cukup ketat dari kedua orang tuanya. Pendidikan awal yang diterimanya dari kedua orang tuanya, selain pendidikan agama adalah bahasa Arab. Tampaknya itu dimaksudkan sebagai bekal untuk mengajar santri putri di Pondok Pesantren di Denanyar yang diasuh ayahnya.
Konon, sejak kecil beliau memang memiliki sifat kepemimpinan yang sangat menonjol. Beliau memiliki banyak gagasan, mengatur orang-orang di sekitarnya, dan beliau juga yang membagi dan memberi tugas baik kepada saudara-saudaranya maupun teman-temannya dan santri-santrinya untuk pekerjaan tertentu.
Tidak hanya itu, Neng Waroh juga memiliki kecerdasan yang menonjol. Hal itu tampak ketika beliau belajar bersama saudara-saudaranya. Beliau lebih cepat menyerap pelajaran. Itu mungkin karena kemauan belajarnya yang sangat tinggi.
Keberaniannya juga sudah terlihat sejak kecil. Seringkali beliau turut serta melihat prosesi pemakaman orang-orang Tionghoa yang meninggal. Hal yang tidak lazim dilakukan anak perempuan pada masa itu.
Rumah Tangga dan Keluarganya
Ketika menginjak usia 14 tahun, Neng Waroh sudah dijodohkan dengan laki-laki pilihan guru ayahnya, Kyai Hasyim Asya’ari. Kyai Hasyim memilih Abdurrahim, putra dari Kyai Kholil Singosari untuk menjadi suaminya.
Sebagai putri yang patuh dan tidak ingin mengecewakan dan mempermalukan orang tuanya, beliau menerima pinangan laki-laki pilihan Sang Kyai. Akad nikah dilaksanakan bertepatan dengan bulan Rajab, sebagai bulan yang diutamakan. Namun pernikahan itu hanya berumur singkat, kurang lebih satu bulan setelah akad nikah, tapatnya bulan Sya’ban suami Neng Waroh wafat. Maka beliau pun berstatus seorang janda dalam usia yang sangat muda.
Perjuangan Nyai Shalihah Wahid Hasyim
Pada masa penjajahan Jepang, Nyai Shalihah aktif dalam organisasi Fujinkai, yaitu organisasi perempuan yang dibentuk oleh Jepang. Dalam organisasi ini Nyai Shalihah memperolah pengetahuan bagaimana membuat obat nyamuk, membuat perban dari gedebog serta bagaimana menangani orang-orang yang terluka akibat peperangan.
Nyai Shalihah juga pernah menggeluti dunia perpolitikan. Beliau pernah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta tahun 1955. Selain itu beliau juga termasuk ketua kandidat NOM (Nahdhatul Oelama Muslimat) di Jombang.
Dibalik semua kiprah Nyai Shalihah, keberhasilan yang paling bernilai adalah melahirkan dan mendidik anaknya seorang diri. Semangat dan kegigihan perempuan inilah yang turut andil dalam perjalanan putra pertamanya, Abdurrahman Wahid sehingga berhasil menjadi Presiden RI. Keberhasilan yang diraihnya tentunya tidak muncul dengan tiba-tiba, tapi terbangun bersama mengalirnya sejarah panjang dalam memahami arti cinta, perjuangan serta kegigihannya bertahan saat masa-masa sulit.
Wafat Nyai Shalihah Wahid Hasyim
Nyai Shalihah Wahid Hasyim menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat, 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di RS. Cipto Mangunkusumo dalam usia 72 tahun, dengan penyakit gula dan jantung yang dideritanya.
Meskipun sudah wafat, sampai saat ini masyarakat dan orang yang pernah bertemu dan bercengkrama dengan beliau tetap mengingat dan menjunjung tinggi rasa sosial dan kedermawanannya. Dalam banyak hal, beliau cenderung mengedepankan kepentingan orang-orang lain, terutama kepada mereka yang tergolong kurang beruntung secara ekonomi. (Aulia susanti. An-najma.com)