Berniat Sebelum Beramal
an-najma.com– Apa yang pembaca pikirkan jika disebutkan kata niat? Yaitui kehendak atau keinginan. Niat itu bukan sekedar ucapan “nawaytu” (saya berniat). Lebih dari itu, ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan) dari Allah Ta’ala. Itulah sebabnya niat itu kadang-kadang mudah untuk dicapai, tetapi terkadang juga sulit untuk dicapai. Kunci dari semua itu ialah seberapa besar hati seseorang dipenuhi urusan diin atau kebaikan. Sebaliknya bila hati seseorang telah terpenuhi dengan gemerlapnya duniawi, maka dipastikan ia akan kesulitan untuk menghadirkan niat yang lurus.
Sahabat Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إَلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهاَجَرَ إِلَيْهِ
“Hanyasanya amal-amal itu tergantung kepada niatnya, dan seseorang itu akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa niat hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, hijrahnya pun kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya kepada dunia yang dia inginkan atau wanita yang akan ia nikahi,hirahnya pun untuk apa yang ia niatkan.” (HR.Bukhori no.1, Muslim no.1907)
Komentar Ulama Mengenai Hadits Niat
Hadits di atas adalah hadits ahad (hanya memiliki satu jalur periwayatan) namun para ulama sepakat akan keshohihannya dan banyak menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah sepertiga dari ilmu”. Imam Ibnu Dawud menambahkan, “sesungguhnya hadits ini sebanding dengan setengah ilmu”. Abu Ubaid (seorang alim sezaman dengan imam Asy-Syafi’I yang wafat tahun 224 H) berkata: ”Tidaklah ada hadits yang paling menyeluruh cakupan isinya dan paling banyak faidahnya daripada hadits ini”.
Penjelasan Hadits Niat
Kalimat “Hanyasanya amal-amal itu tergantung kepada niatnya” berarti, baiknya amalan yang dilakukan sesuai sunnah itu tergantung oleh kebaikan niatnya. Ini sesuai dengan sabda beliau,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيْمِ
“Hanyasanya amal-amal itu tergantung pada akhirnya”
Kalimat “Dan seseorang itu akan mendapatkan apa yang dia niatkan” berarti, pahala amal seseorang itu tergantung pada kebaikan niatnya.
Kalimat “Barangsiapa niat hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, hijrahnya pun kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya kepada dunia yang dia inginkan atau wanita yang akan ia nikahi,hirahnya pun untuk apa yang ia niatkan.” Ini disebutkan sebagai contoh dari amalan-amalan yang memiliki kesamaan bentuk pelaksanaan tetapi berbeda dalam hasil.
Tetapi, niat baik tidak akan mengubah kemaksiatan dari hakikatnya. Salah, manakala seseorang menafsirkan keumumaan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasalam di atas, bahwa kemaksiatan itu berubah menjadi ketaatan karna niat. Sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut hanya berlaku untuk amal ketaatan dan perkara-perkara mubah bukan pada kemaksiatan. Sebagai contoh seseorang makan dengan niatan agar dia mampu dan kuat untuk beribadah.
Dalam kitab Tazkiyatun Nafs karya tiga ulama tersohor yakni Ibnu Rajab Al-Hanbali, Imam Ghazali dan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah disebutkan, ”Ketaatan itu bisa berubah menjadi keksiatan karena niat. Begitu pula, perkara mubah bisa juga menjadi kemaksiatan atau ketaatan bersebab niat. Sedangkan, kemaksiatan tidak akan berubah menjadi ketaatan karna niat. Tetapi justru masuknya niat ke dalam kemaksiatan akan menambah berat dan dosa dari kemaksiatan itu sendiri”.
Pada dasarnya, keabsahan suatu ketaatan itu terikat pada niat. Syaikh Alu Bassam dalam kitabnya Taisiru ‘alam syarh Umdatul Ahkam berkata: ”Poros suatu amalan itu tergantung niatnya, baik niatnya shohih atau fasad (rusak), sempurna atau kurang sempurna, diniatkan sebagai ketaatan atau kemaksiatan. Itulah sebabnya, jika seseorang beramal karna riya maka yang ia peroleh hanyalah dosa, sebaliknya orang yang meniatkan berjihad semata untuk meninggikan kalimat Allah saja maka ia berhak memperoleh ganjaran yang sempurna, adapun jika ia berjihad dengan niat tambahan untuk mencari ghanimah (hasil rampasan) maka berkuranglah gnanjaran yang ia peroleh. Berbeda manakala seseorang meniatkan jihad hanya untuk mencari ghanimah semata maka ia tidak mendapat dosa maupun ganjaran pahala.”
Begitu pula dengan pelipatgandaan pahalanya. Itu sebabnya, suatu amal ketaatan akan dilipatgandakan tergantung dengan banyaknya niat baik yang ia hadirkan saat beramal. Orang yang cerdik ialah mereka yang mengerjakan suatu amalan namun sekaligus meniatkan denagn niat yang banyak. Tapi perlu diketahui pengabungan niat diperbolehkan jika amalan tersebut bukan amalan fardhu melainkan amalan sunnah atau mubah, semisal meniatkan puasa qodho ramadhan dengan puasa senin kamis ini tidak boleh, yang boleh manakala seseorang meniatkan puasa ayamul bidh (puasa 3 hari pada pertengan bulan) dengan puasa senin kamis.
Waktu berniat itu saat awal kita beramal. Semua ulama bersepakat bahwa tempat niat itu di hati. Adapun pelafalan niat di lisan yang dimaksudkan untuk membantu hati dalam menghadirkan niat itu disunnahkan oleh jumhur selain madzhab Maliki. Bagi madzhab Maliki, yang terbaik adalah meninggalkan melafalkan niat , karna tidak ada dalil yqang bersumber dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dan para sahabatnya bahwa mereka melafalkan niat (lihat selengkapnya di kitab Al-Asybah wan Nadzha’ir karya Ibnu Nujaim). So jangan lupa beramal dengan niat… Wallahu ‘Alam bish Shawwab. (El-Majesty/ an-najma.com.)