Bolehkah Wanita Berhaji Tanpa Mahrom?
Ibadah haji merupakan syariat yang ditetapkan oleh Allah kepada nabi Ibrahim. Hal ini juga diwajibkan kepada umat Islam untuk menjalankan ibadah tersebut bagi mereka yang mampu. Kewajiban haji ini sesuai dalam firman Allah:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (Q.S. Ali Imran: 97)
Di dalam Al-Quran surah Ali imran ayat 97 tidak dibedakan antara laki-laki dan wanita dalam pelaksanaan haji. Wanita wajib mengerjakan ibadah haji sebagaimana halnya laki-laki, tidak ada perbedaan sedikit pun selama telah memenuhi syarat-syarat wajib haji. Dalam konteks bepergian atau melakukan perjalanan yang dilakukan oleh Wanita, maka cara yang seharusnya dengan didamping suami atau mahramnya. Dalam perjalanan ibadah haji bagi para wanita, apakah harus di damping dengan mahram?
Pertama, Definisi Safar
Safar secara etimologi berasal dari kata سفر-يسفر-سفورا yang artinya bepergian. Safar adalah sarana untuk melepaskan diri dari sesuatu yang hendak dijauhi atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Secara terminologi safar memliki arti keluar dari tempat bermukim menuju suatu tempat yang jarak dari perjalanan seseorang untuk mengqoshor atau menjamak salatnya, yaitu jarak 89 Km atau satu hari satu malam, atau tiga hari tiga malam.
Kedua, Dalil larangan Wanita bersafar tanpa mahrom
Dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
…لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، ولَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إلَّا ومعهَا مَحْرَمٌ، فَقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ إنِّي أُرِيدُ أنْ أخْرُجَ في جَيْشِ كَذَا وكَذَا، وامْرَأَتي تُرِيدُ الحَجَّ، فَقالَ: اخْرُجْ معهَا
“Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada mahramnya”. Maka seorang sahabat berkata: “wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji”. Nabi bersabda: “temanilah istrimu berhaji” (HR. Bukhari no. 1862, Muslim no. 1341)
Ketiga, Rukun dan Syarat-Syarat Wajib Haji
Rukun haji adalah sifat yang kepadanya tergantung keberadaan ibadah haji, dan ia berada dalam ibadah haji itu sendiri. Rukun-rukun haji ialah rangkaian amalan-amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak dapat digantikan dengan yang lain. Apabila salah satu amalan tersebut tertinggal atau sengaja ditinggalkan, ibadah haji menjadi batal dan wajib mengulang pada kesempatan lain.
Ulama mazhab Syafi’i menetapkan rukun haji sebanyak enam macam, yaitu, ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa’I, memotong rambut minimal Tiga helai rambutdan tertib.
Syarat haji adalah segala ketentuan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan ibadah haji. Jika tidak terpenuhi, maka ibadah haji yang dilaksanakan dipandang sah (diterima). Namun jika ketentuan itu tidak terpenuhi maka ibadah haji yang dilaksanakan tidak sah.
Adapun syarat wajib haji ada tujuh yaitu, islam, baligh, berakal, merdeka, ada kendaraan dan perbekalan, dalam perjalanan tidak ada gangguan, dan mampu menempuh perjalanan.
Baca Juga… Adab Berteman
Keempat, Perjalanan Haji Wanita tanpa mahram
Adapun penjelasan dalam kitab Al-Umm, pada bab haji wanita dan budak, imam syafii menukilkan sebagai berikut,
“Apabila ada pada apa yang diriwayatkan dari Nabi yang menunjukkan bahwa jalan itu perbekalan dan kendaraan, dan wanita itu memperoleh keduanya, dan dia berada bersama wanita-wanita lain yang dipercayai pada jalan yang ada penduduk dan aman. Maka wanita itu termasuk orang yang wajib haji menurut saya. Dan Allah mengetahui, walaupun tidak ada bersama wanita itu mahramnya, karena Rasulullah tidak mengecualikan pada yang mewajibkan haji, selain perbekalan dan kendaraan, kalau tidak ada wanita itu bersama seorang wanita merdeka Islam, yang dipercayai atau lebih, maka wanita itu tidak keluar bersama laki-laki yang tiada wanita bersama mereka, tiada mahram bagi wanita itu dari laki-laki tersebut. Telah sampai kepada kami dari Aisyah Ibnu Umar dan Ibnu Zubair seperti kata kami mengenai bermusafirnya wanita untuk haji walaupun tiada bersama mahramnya.
Dikabarkan kepada kami oleh Muslim dari Juraij yang mengatakan: ditanyakan ‘Atha tentang wanita yang tiada mahram dan tiada suami bersama dia, akan tetapi, bersama dia gundik-gundik dan wanita-wanita bekas budak yang mengurus penempatan, pemeliharaan dan pengangkutan. Lalu ‘Atha menjawab: “Ya, maka hendaklah Wanita itu naik haji”.
Ulama mazhab Syafi’i berpendapat wanita wajib melaksanakan ibadah haji selama ada suami atau mahram atau sejumlah wanita yang dapat dipercaya menemani perjalanannya. Sebagaimana hadits Nabi yang artinya:
“Dari ‘Adi ibn Hatim berkata selagi aku bersama Nabi tiba-tiba datanglah seorang lakai-laki, mengadu tentang kemiskinannya. Kemudian datang seorang laki-laki mengadukan tentang pembegalan-pembegalan diperjalanan. Maka nabi bertanya hai ‘Adi, apakah engkau telah melihat kampung Haira (sebuah kota dekat Kufah)? ‘Adi menjawab: saya belum pernah melihatnya, tetapi pernah orang menerangkan padaku tentang keadaan kota itu. Nabi bersabda: Jika engkau hidup lama, niscaya engkau melihat usungan wanita yang berangkat dari Haira menuju Mekkah dan mentawafi Ka’bah. Tidak ada yang ditakuti selain Allah”
Pendapat di kalangan madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa imam Syafi’i berpendapat wanita boleh melakukan perjalanan jauh apabila bersama wanita muslimah lainnya yang merdeka dan dapat dipercaya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab nya Al-Fiqih Al-Islam Wa Adilatuhu, yang mengatakan bahwa wanita boleh melaksanakan haji atau umrah fardhu (bukan haji atau umrah sunnah) sendirian, jika dalam keadaan aman, tidak menimbulkan fitnah dan dapat menjaga dirinya.
Adapun penjelasan dari kitab Al-Umm dapat dipahami bahwa imam Syafi’i berpendapat pelaksanaan haji bagi wanita itu wajib atas dirinya. )Walaupun atas dasar alasan tidak ada mahramnya atau sanak keluarga yang mendampinginya saat perjalanan dan saat menunaikan ibadah haji. Sebab apabila wanita itu memperoleh petunjuk jalan dan kendaraan serta melaksanakan perjalanan bersama rombongan atau jamaah, maka tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk tidak menunaikan ibadah haji. Wa Allahu ‘alam bish Showab. (Dina Lailatul/an-najma.com)