Hukum Anestesi Pada Saat Berpuasa
Praktek pembiusan (anestesi) bukanlah hal yang asing lagi. Ia dilakukan guna menghilangkan kesadaran pasien supaya tidak merasakan rasa sakit saat dilakukan pembedahan atau operasi lainnya. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika pembiusan atau dilakukan saat pasien sedang menjalani ibadah puasa. Apakah ia berimplikasi pada keabsahan puasa pasien atau tidak?
Makna Anestesi
Jika dilihat dari asal katanya, anestesi diserap dari bahasa Yunani, yaitu “an” yang artinya tidak atau tanpa, dan “aesthetos” yang artinya presepsi, kemampuan untuk merasa. Sedangkan secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh atau yang biasanya disebut dengan pembiusan.
Anestesi memiliki tiga macam dalam dunia kedokteran. Pertama, anestesi lokal, yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pada bagian tertentu. Kedua, anestesi regional, yaitu pembiusan dengan area yang lebih luas daripada anestesi lokal. Ketiga, anestesi umum atau total, yaitu ditujukan untuk membuat pasien tidak sadar sepenuhnya selama operasi. Pada jenis ini pasien sama sekali tidak mengingat apapun tentang operasinya, karena pada umumnya ia mempengaruhi otak dan seluruh tubuh. Pemberian anestesi bisa dengan cara suntik, oral atau melalui mulut dan spray atau semprot.
Jangan lupa baca juga artikel Ramadhan Bulannya Al-Qur’an, Yuk maksimalkan!
Tinjauan Fiqih yang Berkaitan dengannya
Mengenai pengunaan anestesi apakah dapat membatalkan puasa atau tidak, maka yang perlu dikaji lebih mendalam terhadap anestesi total yang melalui suntikan. Sebab pemberian anestesi melalui mulut sudah jelas membatalkan puasa, karena ia melalui jalur tenggorokan. Sedangkan penggunaan anestesi semprot jelas tidak membatalkan puasa. Disisi lain, anestesi total umumnya menghilangkan kesadaran secara penuh yang mana dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah pingsan dapat membatalkan puasa atau tidak. Pembahasan mengenai tema ini, dibagi menjadi dua, yaitu hukum anestesi melalui suntik dan hukum anestesi total, meski kajian lebih urgent akan dibahas pada anestesi total.
Jenis pertama adalah anestesi melalui suntik pada kulit. Umumnya, suntikan yang dilakukan melalui kulit tidak membatalkan puasa, sebab ia tidak berefek memberikan rasa kenyang. Ia juga tidak melewati tenggorokan maupun kerongkongan. Selain itu, kaidah umum mengenai hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah segala sesuatu yang menguatkan badan, baik melalui kerongkongan atau tidak, atau dengan kata lain yang berfungsi sebagaimana makanan dan minuman.
Adapun jenis suntikan yang kedua, adalah suntikan yang dimaksudkan untuk pemberian asupan makanan (infus), sehingga seseorang tidak lagi membutuhkan makan dan minum. Sebab suntikan tersebut sudah mengandung makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh tubuh pasien. Maka, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat;
Pendapat pertama, membatalkan puasa. Pendapat ini dikemukakan oleh Syeikh As-Sa’di, Syeikh bin Baz dan Syeikh Utsaimin. Sebab ia sama saja dengan makan dan minum, yaitu memiliki fungsi menguatkan badan.
Pendapat kedua, tidak membatalkan puasa, sebab ia tidak melalui tenggorokan ataupun kerongkongan dan tidak masuk ke dalam lambung dengan jalan normal. Adapun pendapat yang rojih (kuat), yaitu tidak sampai membatalkan puasa, sebab illah hukum membatalkan puasa adalah yang masuk ke dalam tubuh dan menguatkan badan sebagaimana makanan dan minuman. Sehingga suntikan yang demikian dapat membatalkan puasa karena dapat menguatkan tulang dan anggota badan.
Adapun anestesi total atau bius yang berimplikasi pada hilangnya kesadaran pasien, maka hal ini dikaitkan dengan hukum puasa orang yang pingsan. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa orang yang pindah ketika berpuasa, tidak terlepas dari dua kondisi;
Kondisi pertama, pingsan sejenak dan sempat sadar di siang hari, maka puasanya sah. Sebab ia mampu menahan atau meninggalkan makan dan minum dengan kesadaran meski hanya sebentar. Alasan bahwa puasanya sah yaitu, ketika dia sadar di siang hari, maka orang tersebut telah mendapatkan waktu untuk menahan diri dari pembatal puasa secara umum.
Kondisi kedua, pingsan sehari penuh. Maksudnya, orang tersebut mengalami pingsan dari sebelum fajar sampai terbenam matahari. Pada kondisi ini, puasa orang tersebut tidak sah, meski ia sudah berniat untuk berpuasa sebelumnya.
Dalil bahwa puasanya tidak sah, karena orang yang berpuasa wajib melakukan niat. Berbuat meninggalkan makan dan minum serta semua yang membatalkan puasa. Allah Ta’ala telah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi :
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Orang yang berpuasa ini meniggalkan makan, minim, serta syahwatnya karena-Ku. “ (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits di atas, bentuk menahan atau meninggalkan makan dan minum dikembalikan kepada dirinya sendiri. Artinya, orang tersebut secara sengaja meninggalkan semua pembatal puasa. Sementara orang yang pingsan, tidak sadar, tentu saja tidak memiliki kesengajaan dalam meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa tersebut, sehingga anestesi yang menghilangkan kesadaran dalam waktu singkat tidak mengapa. Wallahu ‘alam bishshawab
Referensi :
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Al-Mufthirat Al-Mu’ashiroh, hlm. 9
Muhammad Samih Umar, Fikih Kesehatan, hlm. 248
Ibnu Utsaimin, Fatawa Ulama Baladil Haram, hlm. 295