PAKAIAN WANITA DI DALAM SHALAT
Pertama: Tebal dan tidak transparan
Pakaian yang digunakan di dalam shalat hendaknya berbahan tebal dan tidak transparan. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa baju yang tipis (transparan) yang bisa mensifatkan bagian tubuh di bawahnya tidak boleh dipakai untuk shalat, karena secara maknawi auratnya tidak tertutupi. Adapun Madzhab Maliki dalam memaknai tebal adalah yang tidak menampakkan aurat dalam sekilas pandang, karena yang seperti itu dianggap tidak menutupi aurat. Madzhab Syafi’i dalam mensyaratkan pakaian di dalam shalat adalah yang bisa menghalangi terlihatnya warna kulit, bukan pada bentuk atau ukuran tubuhnya, meskipun harus dengan tanah atau air keruh. Madzhab Hanbali juga mewajibkan hal ini. Jika sesuatu itu bisa menyifatkan warna kulit, maka tidak dianggap menutupi auratnya dan tidak sah shalatnya. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutkan bahwa apabila seseorang mengenakan pakaian dari plastik, yang itu memang bisa menghalangi sampainya air dan udara, maka tidak sah shalatnya, karena dihukumi tidak dapat menutupi auratnya, bahkan itu bisa menyifatkan kulitnya.
Kedua: Suci
Para ulama sepakat bahwa sucinya pakaian dari najis merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Oleh karena itu, sudah seharusnya pakaian yang dikenakan di dalam shalat itu suci, sesuai dengan kadar kemampuannya. Jika pakaian tersebut mengandung najis ataupun najis secara dzatnya, padahal ia mampu untuk mengenakan pakaian yang suci, maka tidak sah shalatnya. Hal itu bukan karena tidak dapat menutupi auratnya, akan tetapi karena ketidakbolehan membawa najis di dalam shalat.
Ketiga: Menutup aurat serta menjulur
Pakaian yang dikenakan oleh seorang wanita di dalam shalat hendaknya dapat menutupi seluruh auratnya. Seorang wanita yang akan melaksanakan shalat juga dianjurkan untuk mengenakan tiga bentuk pakaian, yaitu khimar yang dapat menutupi kepala dan lehernya, dira’ yang dapat menutupi badan dan kedua kakinya dan milhafah yang menjulur dari atas sampai bawah yang menutupi pakaiannya dan menyelimutinya. Hal ini dianjurkan supaya anggota badannya benar-benar tertutupi dan tidak tersifatkan. Namun, jika ia hanya mengenakan khimar dan dira’ saja yang itu sudah menutupi seluruh auratnya, maka yang demikian diperbolehkan. Sebagaimana perkataan Ummu Salamah ketika ditanya tentang pakaian seorang wanita di dalam shalat. Beliau mengatakan, “Hendaknya ia (seorang wanita) shalat dengan mengenakan khimar dan dira’ yang menjulur serta menutupi kedua punggung telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud no. 639)
Keempat: Menutupi dari atas dan sisi
Pakaian yang dikenakan seorang wanita di dalam shalat hendaknya dapat menutupi seluruh auratnya dari arah atas dan sisi (kanan, kiri, depan dan belakang), bukan dari arah bawah. Apabila ada orang lain yang melihat auratnya dari arah bawah, maka shalatnya tetap sah. Karena hal itu tidak dihukumi sebagai terbukanya aurat.
Kelima: Mubah dan tidak haram
Madzhab Hanbali mensyaratkan mubahnya pakaian yang dikenakan untuk shalat. Haram ada tiga bentuk; bentuk yang pertama adalah haram ‘ain, seperti kulit babi atau sutra bagi laki-laki. Bentuk yang kedua adalah haram sifatnya, seperti pakaian isbal (di atas mata kaki) bagi laki-laki. Bentuk yang ketiga adalah haram cara mendapatkannya, seperti pakaian yang didapatkan dari hasil ghosob atau mencuri. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah atau tidaknya shalat seseorang dengan mengenakan pakaian haram. Kemudian Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyimpulkan di dalam kitabnya Al-Syarhu Al-Mumti’ bahwa shalatnya sah, akan tetapi ia berdosa karena telah mengenakan pakaian yang haram
Keenam: Tidak membahayakan
Madzhab Hanbali juga mensyaratkan pakaian yang dikenakan hendaknya tidak membahayakan sehingga menimbulkan madharat. Misalnya jika pakaian itu mengandung paku atau duri, maka pakaian itu tidak dipakai karena akan melukai tubuhnya. Karena Allah tidak akan mewajibkan kepada hamba-Nya terhadap sesuatu yang menyulitkannya.
Wallahu a’lam bishawab (smile/an-najma.com)