HUKUM I’TIKAF BAGI WANITA

0

I’tikaf  berarti menetap di masjid disertai dengan tatacara yang khusus dan disertai dengan niat. I’tikaf  hukumnya sunnah dilakukan di setiap waktu, tapi lebih afdhal jika dilakukan di sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan. Hukumnya sunnah baik bagi laki-laki maupun bagi wanita.

Bagi wanita yang hendak melakukan i’tikaf di masjid, maka tempatnya harus terpisah dengan tempat laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  membangunkan tempat khusus untuk para istri beliau saat mereka hendak beri’tikaf. Sebagian ulama mengatakan bahwa wanita boleh melakukan i’tikaf di masjid yang ada di kediamannya yang biasa ia gunakan untuk melakukan shalat sehari-hari.

Ketentuan I’tikaf Wanita

Bagi wanita yang hendak melakukan i’tikaf harus memperhatikan beberapa hal berikut,

Pertama: Mendapat izin dari suami

Bagi wanita yang telah mempunyai suami, ia tidak boleh beri’tikaf kecuali setelah mendapatkan izin dari suaminya. Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaaihi wasalam  menyampaikan akan beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, ia kemudian meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam untuk melakukannya dan beliau pun mengizinkannya.

Apabila i’tikaf yang dilakukan oleh wanita yang telah mempunyai suami, maka sifatnya adalah sunnah, dan sang suami boleh memintanya untuk membatalkannya. Adapun jika bersifat wajib seperti nazar, maka jika ia bernazar untuk melakukan i’tikaf secara berturut-turut pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh memintanya untuk membatalkannya. Namun, jika wanita tersebut tidak menyebutkan dalam nazarnya untuk melakukan i’tikaf secara berturut-turut maka suaminya boleh mengeluarkanya dari i’tikafnya dan ia dapat menyempurnakannya di lain waktu.

Baca juga artikel Keistimewaan Lailatul Qadar!

Kedua: I’tikaf dilakukan di dalam masjid

Allah Ta’ala berfirman,

            وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ  

“Sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dan para istri beliau juga melakukan i’tikaf di masjid. Seorang wanita tidak diperbolehkan beri’tikaf di tempat shalat yang ada di rumahnya dan tidak di wajibkan baginya untuk mengikuti shalat jama’ah, karena itu diwajibkan kepada laki-laki (Al-Mughni). Para ulama berpendapat bahwa i’tikafnya seorang wanita itu sama dengan i’tikafnya laki-laki yang mana tidak sah i’tikaf yang dilakukan kecuali di dalam masjid.

Ketiga: Wanita yang beri’tikaf di masjid hendaknya dalam ruangan yang tertutup

Masjid adalah tempat umum yang seringkali didatangi oleh laki-laki. Ketika istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak melakukan i’tikaf, mereka memita untuk dibuatkan tempat khusus di dalam masjid. Saat akan membuat ruangan khusus tersebut, hendaknya tidak mengambil tempat yang digunakan shalat oleh laki-laki karena hal tersebut akan dapat menyebabkan putusnya shaf dan mempersempit tempat untuk shalah mereka(Al-Mughni).

Keempat: Menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala

Ketika seorang wanita beri’tikaf  hendaknya  ia senantiasa menyibukkan dirinya dengan berbagai macam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Adapun i’tikafnya menjadi makruh apabila menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat untuknya baik dari perkataan maupun perbuatan. Makruh juga menahan diri untuk tidak berbicara dengan menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Kelima: Boleh menyentuh suami

Diperbolehkan bagi seorang wanita yang beri’tikaf untuk menyentuh suaminya tanpa disertai dengan syahwat, seperti memberikan sesuatu padanya. Aisyah radhiyallahu ’anha  berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memiringkan kepalanya kepadaku ketika beliau sedang tinggal di dalam masjid (i’tikaf), lalu aku menyisir rambutnya, sedangkan aku saat itu dalam keadaan haid.” (HR. Bukhari)

Keenam: Wanita yang istihadhah boleh i’tikaf

Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan beri’tikaf jika ia bisa menjaga kebersihan masjid tempat ia i’tikaf. Aisyah radhiyallahu ’anha meriwayatkan, “ Salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang istihadhah ikut beri’tikaf bersama dengan beliau. Ia dapat melihat warna merah dan kuning yang keluar darinya sehingga terkadang kami meletakkan wadah di bawahnya ketika ia sedang shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketujuh: Boleh dikhitbah dan dinikahi

Wanita yang sedang beri’tikaf boleh untuk dikhitbah ataupun dinikahi namun tidak diperbolehkan adalah melakukan hubungan badan. Para ulama sepakat bahwa melakukan hubungan badan saat melakukan i’tikaf. Allah Ta’ala berfirman,

             وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ  

 “Dan jangnlah mencampuri mereka, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Wallahu a’lam bishawab. (Smile/an-najma.com)

Leave A Reply

Your email address will not be published.