HUKUM BEJANA YANG TERBUAT DARI KULIT BANGKAI
Hukum bejana yang terbuat dari kulit bangkai adalah salah satu syariat yang harus kita perhatikan. Terlebih fungsi bejana yang tak dapat terlepaskan dari kehidupan umat manusia dalam kesaharaiannya membuat pembahasan ini sangat penting untuk diketahui oleh umat Islam. Oleh karenanya, mari kita simak penjelasan di bawah ini.
Apa itu Bejana dan Bangkai?
Bejana menurut KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah benda berongga yang dapat diisi dengan cairan atau serbuk dan digunakan sebagai wadah. Adapun bangkai adalah apa-apa yang mati tanpa melalui penyembelihan syar’iyah. Bangkai merupakan sesuatu yang najis, kecuali bangkai manusia, ikan, dan belalang dan seluruh bagian bangkai dihukumi najis pula. Sebagaimana yang disebutkan dalam kaidah fiqhiyah yaitu,
المَيْتَةُ نَجِسَةٌ بِجَمِيْعِ أَجْزَائِهَا
“Seluruh bagian bangkai adalah najis.”
Jadi, hewan yang telah menjadi bangkai, semua bagian tubuhnya juga bangkai yang mana dihukumi najis. Kepala, kaki, kulit dan lain sebagainya termasuk najis jika dari hewan yang telah menjadi bangkai. Kemanfaatan hewan yang sangat berharga bagi kehidupan manusia, membuat semua bagian tubuhnya dapat difungsikan. Namun, banyak hal yang perlu diperhatikan, termasuk dalam hal kesuciannya. Lalu, bagaimana jika bejana terbuat dari kulit hewan yang telah menjadi bangkai?
Apa Hukum Bejana yang Terbuat dari Kulit Bangkai?
Pada zaman dahulu bejana biasa terbuat dari kulit hewan, maka kesucian dari bejana itu tergantung dari kulitnya. Apabila kulitnya suci, maka suci pula air yang berada di dalamnya. Apabila kulitnya najis maka najis pula airnya.
Kulit hewan yang termasuk dari bagian bangkai, maka hukum dari kulit bangkai tersebut adalah najis. Dalam hal ini, kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak, baik bangkai itu berasal dari hewan yang dapat dimakan atau tidak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا دُبِغَ الإِلْهَابُ فَقَدْ طَهَرَ
“Apabila kulit bangkai disamak maka ia telah menjadi suci.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Penyamakan dapat dilakukan dengan membersihkan atau menyisihkan fudhul (hal-hal yang dapat membuat busuk yaitu berupa darah atau sejenisnya) dengan sesuatu yang memiliki bau yang tajam atau rasa yang pahit dan sepet baik dari benda yang suci atau najis, seperti kotoran hewan. Akan tetapi, hendaknya setelah itu ia dicuci.
Akan tetapi, tidak semua bangkai dapat disucikan dengan disamak. Adapun bangkai yang tidak dapat disamak adalah bangkai anjing dan babi, karena dalam keadaan hidup mereka telah dihukumi najis, maka bangkainya pun dihukumi najis. Begitu pula apa-apa yang lahir dari keduanya yaitu hewan peranakan dari anjing dan babi. Atau yang telahir dari salah satu dari keduanya yaitu hewan peranakan dari anjing atau babi dengan hewan suci, seperti hewan peranakan anjing dan sapi atau domba dan babi, maka keduanya dihukumi najis karena induknya najis baik keduanya atau salah satunya.
Begitu pula dengan tulang dan rambut bangkai, maka ia juga dihukumi najis karena termasuk dari bagian tubuh bangkai. Dikecualikan tulang dan rambut manusia karena bangkai manusia dihukumi suci. Adapun bangkai janin tidak dikecualikan darinya. Ia mengikuti penyembelihan induknya. Apabila induknya mati tanpa penyembelihan yang syari’i, maka hukumnya sama dengan induknya yaitu najis. Apabila disembelih dengan penyembelihan yang syari’i, maka hukumnya suci.
Yang termasuk dalam bangkai juga adalah apa-apa yang terpisah dari tubuh yang masih hidup. Maka, hukum kenajisannya mengikuti hukum bangkainya, apabila bangkainya suci maka bagian tubuh itu suci dan apabila bangkainya najis maka ia juga najis. Sebagaimana yang disebutkan dalam kaidah fiqhiyah,
مَا فُصِلَ مِنْ حَيٍّ فَلَهُ حُكْمِ مَيْتَتُهُ
“Apa-apa yang terpisah dari sesuatu yang hidup maka hukumnya seperti bangkainya.”
Misalnya adalah ekor sapi yang dipotong dari sapi yang masih hidup, maka ekornya dihukumi najis karena hukum bangkai sapi adalah najis. Berbeda dengan potongan tangan pencuri yang dipotong karena had maka tangan tersebut suci, karena bangkai manusia adalah suci. Dikecualikan darinya adalah bulunya, rambutnya, air liurnya, keringatnya, misknya, dan susunya. Maka ia hukumnya suci.
Oleh karena itu, bejana yang terbuat dari kulit bangkai kecuali bangkai manusia, ikan, dan belalang maka hukumnya najis. Hendaknya ia disamak terlebih dahulu sebelum digunakan. Adapun kulit babi dan anjing tetap dihukumi najis walaupun disamak.
Setelah membahas bejana dari kulit bangkai yang terkesan amat kuno, lalu bagaimana dengan bejana yang terbuat dari benda mewah. Emas dan perak, adalah benda mewah atau perhiasan yang sangat disukai oleh manusia dikarenakan harganya yang mahal. Tidak dipungkiri juga, emas dan perak ini pun dapat dijadikan bejana, lalu bagaimana hukum bejana dari emas dan perak?
baca lainnya: Hamil Dan Menyusui, Qadha atau Fidyah?
Bejana dari Emas dan Perak, Bolehkah?
Adapun bejana yang terbuat dari emas dan perak tidak boleh digunakan baik untuk makan, minum, atau selain dari keduanya dan begitu pula dalam menyimpannya. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ
“Janganlah kamu minum dengan gelas (yang terbuat) dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat.” (Muttafaq ‘alaihi).
Apabila emas atau perak itu digunakan untuk menambal benda yang rusak, maka ada dua pendapat. Apabila yang digunakan emas, maka Imam Al-Nawawi berpendapat haram secara mutlak. Apabila yang digunakan perak, maka jika yang digunakan banyak untuk sebuah hajat seperti menambal, maka hukumnya makruh tapi apabila yang digunakan sedikit maka diperbolehkan. Berbeda apabila perak itu digunakan untuk perhiasan, apabila yang digunakan sedikit, maka hukumnya makruh tapi jika banyak, maka hukumnya haram. Itulah sedikit pembahasan tentang hukum bejana dari kulit bangkai, dan hukum bejana dari emas dan perak, semoga pembahasan ini membuat kita lebih berhati-hati dalam menggunakan sesuatu. Wallahu ‘alam bish showab. (Indana Lazulfa /an-najma.com)
Referensi:
Fathul Qorib Al-Mujib