TEUNGKU FAKINAH

0

Perempuan Tangguh Berhati Sutera dari Aceh Barat

Perang Aceh telah begitu banyak melahirkan pahlawan, tak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Salah satunya adalah Tengku Fakinah. Ia sahabat karib Cut Nyak Dhien dalam berjuang, ia juga menjadi penasehat spiritual Cut Nyak Dhien.

Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak) Aceh Besar. Dalam tubuhnya mengalir darah ulama dan darah bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud, seorang pejabat pemerintahan pada zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa’at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok.

Sesudah Teungku Fakinah dewasa, pada tahun 1872 beliau dinikahkan dengan Teungku Ahmad atau Aneuk Glee, oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku Ahmad membuka satu pesantren yang dibiyai oleh mertuanya  Teungku Muhammad Sa’at atas dukungan orang Lam Beunot dan Imam Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh para pemuda dan pemudi dari  tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang darI Aceh Pidie. Tatkala menantang serangan 1 Belanda , Teungku Imam Lam Krak serta Teunku Ahmad wafat dalam pasukan V11 Mukim Baet ketika mempertahankan pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu Aceh Besar yang dikomadokan oleh panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia.

Pendidikan dan Guru

Teungku Fakinah tidak pernah menempuh pendidikan formal seperti halnya pendidikan masa kini. Ia menempuh pendidikan Non-formal  yaitu pendidikan agama  di pesantren milik kedua orang tuanya. Ia belajar agama dengan tekun seperti ilmu tauhid, tafsir, fiqih, akhlak-tasawuf dan bahasa Arab. Sedangkan ilmu keputrian ia peroleh dari ibunya.

Sejak kecil hingga remajanya Teungku Fakinah mendapat pendidikan agama, jahit-menjahit dan kerajinan kerawang sutera emas dan perak. Tidak mengherankan ketika dewasa ia dikenal sebagai ahli agama dan pakar kerajinan kerawang. Selain menekuni pendidikan agama di pondok pesantren, beliau juga mengikuti pendidikan militer pada saat menjelang pecahnya perang Aceh melawan Belanda.

Kehidupan Keluarga 

Setelah menikah dengan Teungku Ahmad, pasangan ini mendirikan pondok pesantren dan terlibat langsung menjadi pengajar para santri-santrinya. Namun sayang satu tahun kemudian, Belanda datang dengan niat menjajah Aceh. Serangan Belanda pada tanggal 8 April 1873 ini menewaskan Panglima Rama Setia, Imam Lam Krak dan Teungku Ahmad dan beberapa perwira lainya.

Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas mufakat orang-orang, Teungku Fakinah patut menjadi panglima perang, dan menjodohkan Teungku Fakinah dengan Teungku Badai yang berasal dari Pidie, beliau adalah murid ponpes Tanoh Abee. Alasan menikahkan Teungku Fakinah ini adalah karena seorang panglima perempuan dalam siasat perang senantiasa harus bekerja sama dengan laki-laki yang sering melakukan musyawarah. Dalam pandangan masyarakat umum, tidak layak dalam suatu perundingan  seorang perempuan tidak didampingi oleh suaminya. Dengan demikian Teungku Fakinah dapat menerima saran dari orang-orang tua ini, maka pernikahan merekapun dilangsungkan. Akhirnya Teungku Nyak Badai menjadi suami kedua Teungku Fakinah.

Selama hidupnya Teungku Fakinah menikah sebanyak tiga kali, terakhir beliau menikah dengan Teungku Haji Ibrahim. Pada tahun 1915 M beliau naik haji dan bermukim agak lama di Mekkah.

Peninggalan dan Perjuangan

Gelar “Teungku” yang melekat padanya karena beliau adalah seorang ulama yang alim dan bijaksana, menguasai ilmu dari berbagai kitab-kitab fiqih sunni, akhlak-tasawuf, tafsir al-quran dan hadis, juga menguasai bahasa arab sebagai bekal untuk membedah pengetahuan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih.

Beliau juga seorang pemimpin pondok pesantren, sebelum perang Aceh beliau telah membangun Dayah (ponpes) di Aceh Besar sebagai pusat pendidikan Islam. Pondok pseantren yang beliau bangun tersebut dikenal dengan nama Dayah Lam Diran yang menunjuk kepada lokasi di Desa Lam Diran Aceh Besar. Dayah tersebut terbuka untuk laki-laki dan perempuan yang ingin menggali ilmu agama, namun demikian asramanya jauh terpisah. Disana selain ilmu-ilmu agama juga di ajarkan ilmu umum dan kerajinan seperti jahit-menjahit dan ilmu bertukang (teknik sipil dan mebel)

Semenjak ditinggal suami pertamanya, Teungku Fakinah membentuk Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma perempuan lainnya untuk menjadi anggota amal tersebut. Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar yang kemudia berkembang sampai ke Pidie.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang  berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggota-anggota yang tinggal di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan, dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu di bawah pimpinan Teungku Fakinah.

baca lainnya : Tokoh Wanita Sulthanah Shafiatuddin

Wafat

Teungku Fakinah wafat pada tanggal 8 Ramadhan  1353 H atau 1938 M. Teungku Fakinah sebagai pahlawan dan ulama Wanita Aceh menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun.  Wallahu a’lam bisshawab. (Aulia Susanti/an-najma.com)

Referensi:

KH Helmi Ali Yafie, Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.