AURAT WANITA MUSLIMAH DI HADAPAN WANITA LAIN
Aurat merupakan bagian tubuh seseorang yang tidak boleh ditampakkan kecuali kepada mahramnya. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, semakin terlihat betapa jauhnya manusia dari aturan dan syariat yang telah ditetapkan Allah Ta’ala kepada semua hamba-Nya. Syariat-syariat yang telah ditetapkan Allah Ta’ala perlahan mulai menghilang dari kehidupan manusia. Ketika syariat telah hilang dari kehidupan manusia, maka krisis moral tidak bisa dipungkiri akan melanda umat manusia, khususnya kepada kaum wanita. Hal ini dikhawatirkan menjadi penyebab dari merebaknya penyakit lesbian yang terjadi saat ini, yang mana hal tersebut bisa saja terjadi karena banyak dari mereka tidak memahami batasan aurat yang harus dijaga di hadapan orang lain, khususnya di hadapan sesama wanita. Nah, pada An-Najma edisi kali ini kami akan mengulas batasan aurat wanita di hadapan wanita lainnya.
Aurat Wanita Muslimah di Hadapan Wanita Non Muslim
Para ulama sepakat bahwa batasan aurat wanita di hadapan wanita Muslimah yang tidak boleh ditampakkan adalah apa yang ada di antara pusar dan lutut dan boleh melihat kepada selainnya. Jika dengan melihat kepada hal tersebut dikhawatirkan dapat membangkitkan syahwat dan menimbulkan fitnah, maka sebaiknya seorang wanita tidak melihat kepada aurat wanita kecuali dalam keadaan darurat. Sesuatu yang diharamkan oleh syari’at boleh dilakukan jika dalam keadaan darurat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثوب واحد ولاتفضي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya). Seorang laki-laki tidak boleh bersama laki-laki lain dalam satu kain, dan tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lain dalam satu kain.” (HR. Muslim)
Batasan Aurat Wanita Muslimah di Hadapan Wanita Non Muslim
Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita non muslim sama seperti laki-laki non mahram ketika berada di hadapan wanita muslimah. Allah Ta’ala berfirman;
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka.” (QS. An-Nur [24]:31)
Wanita muslimah boleh menampakkan perhiasannya hanya kepada wanita muslimah dan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita non muslim. Hal tersebut tidak diperbolehkan karena ditakutkan mereka akan menceritakan keadaan wanita muslimah tersebut kepada laki-laki yang ada di kalangan mereka. Meskipun menceritakan keadaan wanita muslimah adalah perbuatan yang dilarang kepada semua wanita, akan tetapi kepada wanita non muslim pelarangannya lebih keras. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
لَا تُبَاشِرُ المرأةَ المرأةَ، تَنْعَتُهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
“Janganlah seorang wanita melihat wanita lainnya kemudian ia menceritakannya kepada suaminya seolah-olah suaminya melihat wanita tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun batasan aurat wanita muslimah saat berada di hadapan wanita non muslim adalah sama seperti saat seorang wanita muslimah berada di hadapan laki-laki non mahram yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Maka wajib bagi wanita muslimah untuk menutup auratnya saat berada di hadapan wanita non muslim. Dalam Mughni Muhtaj dikatakan bahwa anggota tubuh wanita muslimah yang boleh ditampakkan saat berada di hadapan wanita non muslim adalah anggota tubuh yang biasa terlihat saat beraktivitas. (smile/an-najma.com)
Referensi:
- Abi Fidaa Isma’il bin Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Maktabah Taufiqiyyah, Mesir.
- Khatib Asy-Syirbini, Mughni Muhtaj, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2014.