Sejarah Feminisme #3
Selain melahirkan feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis, periode gelombang pertama juga memunculkan fenomena dimana kaum feminis berusaha keras agar gerakan mereka mendapat legitimasi dari Bibel. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan yang maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Dalam buku “Feminist Aproachesto The Bible”, seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer Kensky, menulis makalah dengan judul “Goddeses: Biblical Echoes”.
Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible, yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bibel mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan. Para tokoh agama Kristen kemudian memandang karya Stanton sebagai karya setan. (Adian Husaini, “Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya terhadap Islam” dalam Jurnal Islamia, Vol.III th 2010,hlm.12)
Gelombang Kedua
Saat meletus perang dunia pertama dan kedua, gerakan feminisme sempat melemah. Pada 1949 terbitlah buku Simonede Beauvoir, seorang feminis Perancis, berjudul The Second Sex menandai munculnya gelombang kedua feminisme. Gerakan ini semakin menguat pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Beauvoir berargumen bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan berakar dari faktor biologis, tetapi sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. (Gadis Arivea, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berperspektif Feminis,hlm.8)
Beauvoir menyatakan, “Seseorang tidak terlahir, tetapi lebih menjadi perempuan. Tidak ada takdir biologis, tetapi psikologis maupun ekonomislah yang menentukan figur seorang perempuan dalam masyarakat. Peradabanlah yang membuat makhluk ini, menjadi penengah antara laki-laki dan orang kebiri, yang dideskripsikan sebagai feminim.”
Pada gelombang kedua, tuntutan kaum feminis tidak hanya pada bidang politik dan hukum, tetapi mereka menuntut hak mereka yang lebih luas. Para feminis mengangkat isu liberation atau kebebasan di tengah-tengah tekanan masyarakat patriakhy. Mereka menilai isu persamaan (equality) tidak dapat dicapai dengan pemberian hak memilih sehingga kaum feminis merasa gelombang kedua adalah waktu yang tepat untuk muncul di ranah publik. Mereka menuntut persamaan dalam lapangan pekerjaan, baik dalam mendapatkan upah maupun kedudukan dalam tempat kerja, pendidikan, dan pekerjaan rumah tangga. (Shilpi Gole, “Feminist Literary Critism,” Language in India.Vol 10,(4 April 2010),hlm.404)
Periode gelombang kedua ini melahirkan feminisme psikoanalisis dan feminisme eksistensialisme. Feminisme psikoanalisis menyatakan bahwa penjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche (jiwa) perempuan, terutama cara pikir perempuan. Sementara itu, feminisme eksistensialisme menyatakan bahwa penindasan perempuan terjadi karena dianggap sebagai “other” (yang lain) dalam budaya yang diciptakan laki-laki.
Gelombang Ketiga
Gerakan feminisme berlanjut sampai muncul gelombang ketiga pada awal tahun 1980-an. Pada gelombang ketiga, gerakan ini memfokuskan sesuatu yang tidak terdapat pada tuntutan gelombang kedua. Gerakan ini masih melihat adanya perbedaan laki-laki dan perempuan dalam ras, etik, dan bangsa tertentu.
Mereka menuntut keseragaman dalam mendapatkan hak antara kulit hitam dan putih, karena dalam sejarah, perempuan kulit hitam lebih menderita dari pada perempuan berkulit putih.
Aktivis feminis pada gelombang ketiga sering mengkritik feminis pada gelombang kedua yang kurang memperhatikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi ras, etnik, atau bangsa. Kritik feminis pada gelombang ketiga kepada feminis gelombang kedua secara jelas disampaikan Lesley Heywood dan Jennifer Drake yang mendeklarasikan diri sebagai ‘post-feminist’ dan menyatakan bahwa mereka berseberangan dan mengkritik feminis kedua.
Periode gelombang kedua ini melahirkan feminisme postmodern, multikultural, global,dan ekofeminisme. Feminisme postmodern menyatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan haruslah diterima dan dipelihara. Mereka menganggap bahwa masyarakat telah diatur untuk saling berhubungan di antara keduanya. Feminisme multikultural memusatkan perhatian pada pandangan bahwa di dalam satu negara seperti Amerika, tidak semua perempuan diciptakan atau dikontruksi secara merata. Tergantung bukan hanya pada ras dan etnis tetapi juga pada identitas seksual, identitas gender, umur, agama, tingkat pendidikan, profesi, status perkawinan, dan masih banyak lagi.
Feminisme global memperluas gagasan yang dikemukakan oleh feminis multikultural. Feminisme global menyatakan penindasan terhadap perempuan juga bisa disebabkan oleh sistem yang tidak adil yang bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga oleh perempuan dan laki-laki dari tempat lain. Sementara itu, ekofeminisme berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis perempuan. Perempuan dianggap memainkan peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri. Wallahu A’lam bish Shawab. (Ust. M. Isa Anshori/an-najma.com)
[…] Baca Juga […]