Safar Bulan Sial?
Apakah Safar bulan sial? pertanyaan yang mungkin hadir dalam sebagian benak pembaca bahwa, apakah ada hari atau tanggal sial dan pembawa petaka dalam sejarah Islam? Lantas apakah pantas bagi kita untuk meyakini serta mempercayainya?
Jauh sebelum bulan Safar ditetapkan sebagai bulan hijriyah kedua setelah Muharram, orang Arab Jahiliyah telah menetapkan hari tersebut sebagai bulan sial. Pasalnya mereka berdalih dengan para ahli nujum dan juga paranormal untuk menggantungkan nasib serta takdir. Oleh sebab itu, tidak sedikit dari kaum Jahiliyah mengurungkan niat untuk berdagang atau menikah hanya karena khawatir petaka serta sial akan menimpa mereka pada bulan Safar.
Adapun keyakinan orang Arab Jahiliah mengenai nama bulan Safar, diambil dari nama suatu jenis penyakit yang bersarang di dalam perut manusia karena adanya hewan melata (sejenis ular) yang dapat membunuh korbannya secara perlahan. Hal inilah yang menjadikan sebagian dari mereka menganggap bulan Safar adalah bulan yang penuh dengan keburukan. Mereka bahkan menyangka bahwa bulan Safar adalah bulan di mana Allah menurunkan azab kepada umat manusia.
Dengan demikian Rasulullah SAW membantah pernyataan tersebut lalu bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR Bukhari no. 5437, Muslim no. 2220, Abu Dau no. 3911, dan Ahmad 2/327)
Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa sudah selayaknya seorang muslim untuk tidak menggantungkan nasib baik maupun buruk kepada prasangka semata sebagaimana kepercayaan orang Yunani Kuno terhadap gugusan bintang (zodiak).
Mengenai hadis tersebut Lafaz thiyarah bisa diartikan sebagai perasaan atau merasa sial. Adapun orang-orang Jahiliyah menerbangkan thairah (burung) sebagai bentuk harapan agar terbebas dari kesengsaraan. seiring berjalannya waktu, thiyarah tidak hanya menerbangkan burung melainkan menjadi ritual menjemput keberuntungan ataupun kerugian. Adapun لا طيرة dalam hadis bermakna larangan untuk mendatangi dukun atau mengerjakan ritual apapun yang bertentangan dengan syariat Islam dan menjadi jalan pintas menuju kesyirikan, na’udzu billah. Sebagaimana hadis
من ردته الطيرة فقد قارف الشرك
“Barang siapa yang membatalkan suatu pekerjaan karena meyakini thiyarah maka ia telah berlaku syirik.”
Sedangkan lafaz hamah adalah keyakinan arab Jahiliah mengenai reinkarnasi jasad manusia menjadi burung atau hewan semisalnya. Maka dari itu لَا هَامَةَ adalah larangan untuk meyakini adanya reinkarnasi serta arwah gentayangan pembawa sial. Adapun kata
و لا صفر selaras dengan لا عدوى, mengapa?
Karena keyakinan mereka terhadap bulan safar sebagai bulan sial dan malapetaka serta menyebarnya penyakit kronis secara tiba-tiba lalu mati mendadak. Hal ini cukup meyakinkan mereka bahwa bulan safar adalah bulan sial yang dimurkai Tuhan.
Maka dari itu, Rasulullah SAW menegaskan bahwa bulan safar bukanlah bulan pembawa sial dan tidak ada penyakit serta musibah melainkan atas takdir Allah swt. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At Taghabun: 11).
Dengan demikian, bulan Safar bukanlah bulan sial atau pembawa petaka dan tidak ada satu pun manusia yang mampu menentukan takdir melalui perhitungan hari, bulan atau bahkan bertanya kepada ahli nujum atau peramal. Maka dari itu, sudah sepantasnya sebagai seorang muslim menggantungkan takdir dan nasib serta berharap hanyalah kepada sang maha raja, yakni Allah SWT secara utuh dan kaffah. (Ibnu Rajab, Lathaif Ma’arif). (noura muchtar/an-najma.com)