FEMINISME DALAM DUNIA ISLAM

0

Pengaruh feminisme di Barat menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk dunia Islam. Gerakan feminisme dalam Islam sebenarnya timbul karena pengaruh pemikiran-pemikiran dari luar yang mempunyai tujuan tertentu. Jauh sebelum gerakan feminis muncul, Islam telah mengatur kehidupan dan gerak wanita. Aturan itu dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Pada abad ke-19, muncullah suatu gerakan di Mesir yang bertujuan memperjuangkan hak-hak wanita yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, misalnya hak mendapatkan pendidikan, kiprahnya dalam bidang sosial, dan bidang agama.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan feminisme di Mesir. Pertama, imperialisme Barat ke Timur Tengah banyak memberikan pengaruh terhadap munculnya feminisme. M. Ali Pasha merupakan tokoh Mesir yang bertekad meninggalkan tradisi mereka dan berusaha menggantinya dengan tradisi modern ala Barat dengan mengirimkan keluarganya ke universitas-universitas di Eropa. Kedua, pengaruh misionaris kristen. Sekitar abad ke-19 banyak didirikan lembaga yang dikelola oleh para misionaris dan dikembangkan oleh para guru senior dengan kualitas dan disiplin yang tinggi. Banyak kaum perempuan mendaftar di lembaga tersebut. Para misionaris itu kemudian mengubah ideologi mereka dengan ideologi Barat. Mereka mengutamakan penggunaan bahasa Eropa sebagai bahasa pengantar. Ketiga, bertambahnya pelajar muslim yang belajar ke universitas-universitas di Barat. Keempat, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869. Daerah yang dahulu sepi disulap menjadi kota metropolitan.

Baca Juga

Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan umat. Pandangan yang sama dinyatakan juga oleh Hasan At-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjamaah, ikut ke medan perang, dan lain-lain. Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Quthb, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekuler, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai “Bapak Feminis Arab”. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahrir Al-Mar’ah (Kairo, 1899) dan Al-Mar’ah Al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahrir Al-Mar’ah fi ‘Ashr Ar-Risalah (Kuwait,199), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, ia mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.

Selain mereka, ada beberapa nama yang dikenal sebagai tokoh feminis muslim. Salah satunya adalah Fatima Mernissi. Wanita kelahiran Rabat, Maroko pada 1940 ini mengecam kesalahan penafsiran feminisme Barat terhadap Islam secara umum dan Muslimah secara khusus. Bagi Mernissi, kesalahan penafsiran Barat hanya menambah kompleksnya persoalan perempuan di dunia Islam serta memancing permusuhan dari mereka. Meskipun demikian, Mernissi juga secara berani meragukan keshahihan beberapa hadits yang ia nilai menyudutkan perempuan pada posisi yang rendah dan hina (misogini). Ia melakukan banyak kritik terhadap hadis Nabi yang dinilainya sudah banyak mengalami penyimpangan dan manipulasi. Menurut Mernissi, ketersudutan perempuan itu disebabkan oleh banyaknya hadis palsu yang bertentangan dengan semangat kesetaraan yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia menyoroti kecenderungan misoginis muncul dari tradisi pra-Islam, sehingga membuat kesetaraan ideal sukar terwujud. Oleh karena itu, ia banyak membahas dan melakukan kritik terhadap hadits-hadits misoginis.

Tokoh feminis muslim lainnya adalah Riffat Hassan dari Pakistan. Berbeda dengan Mernissi yang memusatkan kritiknya pada hadis, Riffat memusatkan perhatiannya pada tafsir Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan. Menurutnya, sikap dan pandangan negatif terhadap perempuan berakar pada pandangan teologis tradisional dari mufassir klasik. Ia kemudian membongkar logika teologi tradisionalis tersebut dan menggantinya dengan teologi feminis. Ia menafsir ulang dengan menganalisa kata qawwamun, Adam dan nafs wahidah.

Masih ada beberapa tokoh feminis Muslim yang pengaruhnya merambah ke negeri-negeri Muslim, seperti Nawal Al-Saadawi dari Mesir, Taslima Nasreen dari Bangladesh, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud dari Amerika Serikat, Zainab Anwar dari Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan masih banyak lagi. Wallahu A’lam bis Shawab. (Ust. M. Isa Anshori/an-najma.com)

Leave A Reply

Your email address will not be published.