APRESIASI AL-QUR’AN UNTUK MAIMUNAH BINTI AL-HARITS
Di antara ayat yang memberi apresiasi kepada salah satu istri nabi tertera dalam surah Al-Ahzab ayat 50. Disebutkan bahwa ada seorang perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi untuk dinikahi. Di mana hal tersebut sebagai pengkhususan baginya tidak pada selainnya. Yakni beliau Maimunah binti al-Harits.
mari jangan lewatkan, klik disini
Perempuan tersebut merupakan istri terakhir Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bernama lengkap Maimunah binti Al-Harits bin Huzn bin Bujair bin Al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah Al-Hilaliyah. Ia berasal dari kabilah al-Hilal. Termasuk bagian dari pemimpin para wanita yang mempunyai keutamaan yang masyhur dari nasab yang sangta tinggi.
Sebelum menikah dengan Rasulullah Shallahu Alihi wa Sallam Maimunah menikah dengan Mas’ud bin ‘Amr di masa jahiliyahnya. Selama menjadi istri Mas’ud, Maimunah sering mengunjungi saudarinya, Ummul Fadhl. Dari kejadian itu ia sering mendengar tentang sebagian kabar-kabar kaum muslimin yang berhijrah dari saudarinya tersebut. Sehingga hal tersebut memberikan pengaruh yang besar pada diri Maimunah binti al-harits.
Tatkala terdengar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, Maimunah berada di rumah saudari kandungnya yaitu Ummul Fadhl. Ia merasa senang dan gembira dengan kegembiraan yang tak bisa digambarkan dengan apapun. Kemudian ketika ia kembali ke rumah suaminya, ia mendapati suaminya penuh dengan kesedihan. Lalu keduanya cekcok sehingga menimbulkan perceraian. Ia keluar dari rumah tersebut dan tinggal di rumah Abbas bin Abdul Muthalib.
Saat batas waktu yang dijanjikan dalam perjanjian Hudaibiyah tiba, di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam diperbolehkan memasuki Makkah dan menetap selama tiga hari. Di sela-sela itu kaum muslimin menunaikan manasik haji, dan orang-orang Quraisy mengosongkan Makkah untuk mereka.
Pada hari yang dijanjikan itu, kaum muslimin masuk Makkah dengan aman sambil memotong rambut-rambut mereka dalam keadaan tidak mendapati ketakutan sama sekali. Benarlah janji yang dijanjikan itu, sehingga suara orang mukmin yang bertalbiyah bersaut-sautan dengan saura yang tinggi.
Suara-suara tersebut memenuhi sudut-sudut kota Makkah, menggoncangkan bumi yang berada di bawah telapak-telapak kaki kaum musyrik. Mereka bergegas menuju ke bukit-bukit dan gunung-gunung, dikarenakan mereka tidak mampu melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya yang kembali ke Makkah dengan terang-terangan, dengan penuh kekuatan dan kemuliaan. Yang tersisa di Makkah adalah laki-laki dan wanita yang menyembunyikan keimanan mereka serta mereka dalam keadaan mengimani bahwa hari kemenangan itu sudah sangat dekat.
Maimunah adalah salah satu dari golongan orang-orang yang menyembunyikan keimanannya. Ia mendengar teriakan yang sangat agung yang mengagungkan dan membesarkan Allah Ta’ala. Kemudian Maimunah tidak berhenti di sisi batas keimanan yang tersembunyi tersebut. Bahkan ia ingin membawa semua dirinya kepada Islam dengan diiringi rasa kemuliaan yang jujur. Hal itu ia lakukan dalam rangka menunjukkan kecintaanya masuk Islam kepada para pembesar kabilah, serta kecintaanya untuk bernaung di bawah atap kenabian. Agar ia bisa minum dari sumber air kenabian tersebut, sehingga ia bisa memenuhi karakternya yang haus terhadap aqidah Islam yang sangat menakjubkan, yang akan mengubah kehidupannya secara sempurna.
Ia memberitahukan kepada saudari kandungnya Ummul Fadhl tentang keinginan hatinya untuk menjadi salah satu ibu dari ibu-ibu orang yang beriman. Ummul Fadhl membicaarakan hal itu kepada suaminya Abbas dan ia menjadikan suaminya sebagai pengantarnya.
Ketika Abbas tidak meragukan tekad Maimunah tersebut, ia segera pergi ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menjelaskan kepada beliau agar beliau mau manikahinya. Maka nabi menyetujui untuk menikahi Maimunah dan beliau memberikan mahar 400 dirham kepadanya.
Dan ketika jangka waktu tiga hari yang telah ditentukan dalam perjanjian Hudaibiyah telah habis, kaum Quraisy mendatangi nabi untuk menyuruhnya keluar dari Makkah. Sungguh kaum musyrikin merasa takut terhadap apa yang mereka dengar tentang tinggalnya nabi. Karena mereka mendapati tentang apa yang diakibatkan dari kedatangan beliau di Makkah, yaitu adanya pengaruh pada kebanyakan jiwa manusia. Sebagaimana Maimunah tidak cukup menunjukkan keislamannya, bahkan ia menjadikan mereka semakin marah dengan memperlihatkan dirinya sebagai istri nabi.
Istri terakhir Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan perempuan yang tegas.
Sebagai sikap kehati-hatian nabi, beliau tidak menggauli Maimunah di Makkah dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan perjalanan kembali ke Madinah. Ketika beliau berada di suatu tempat yang bernama Sarifa sejauh 10 mil dari Makkah, beliau menggauli Maimunah. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun ke-7 H.
Kemudian Maimunah sampai ke Madinah dan ia menetap di rumah nabi yang suci, sebagaimana ia mengharapkan menjadi wanita yang mulia, menjadi seorang ibu dan seorang ummahatul mukminin yang utama, yang selalu menunaikan kewajiban suami dengan baik yaitu mendengar, taat, memenuhi janji, dan ikhlas.
Dan puncak pengabdiannya sebagai istri yang memuliakan nabi adalah ia mewasiatkan agar dirinya dikuburkan di tempat di mana beliau menggaulinya pertama kali. (Fadhilah Al-Ulya/an-najma.com)
[…] Baca lainnya […]