Larangan saat Haid dan Nifas #1
Allah telah menetapkan kewajiban dan larangan dalam semua perkara hamba-Nya, sebagaimana Allah telah menetapkan kewajiban dan larangan saat haid dan nifas bagi para wanita. Dalam Islam seseorang yang telah mencapai masa baligh, ditandai dengan keluarnya darah haid pada perempuan, mimpi basah pada laki-laki ataupun telah mencapai usia 15 tahun, pada masa ini manusia telah menjadi seorang mukalaf, dimana ia harus mengerjakan semua kewajiban yang telah Allah tetapkan baginya, seperti shalat, puasa dan kewajiban lainnya.
Tetapi seorang wanita yang sedang mengalami haid atau nifas tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang wajib ia lakukan ketika ia dalam keadaan suci. Berikut ini adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh wanita saat haid dan nifas:
- Shalat
Para ulama sepakat bahwasanya haid dan nifas menghalangi kewajiban shalat, wanita yang haid dan nifas tidak diperbolehkan melakukan shalat, termasuk shalat sunah, shalat jenazah, sujud tilawah, dan sujud syukur. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah dalam permasalahan Fathimah binti Abi Hubaisy, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
…إذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَة فَدَعِيْ الصَّلاَة, وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلَيْ عَنْكَ الدَّمَ, وَصَلِّي
“Apabila datang masa haidmu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berlalu, mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kepada Fathimah bin Abi Hubaisy untuk melaksanakan shalat apabila masa haidnya telah selesai, walaupun keadaan Fathimah saat itu masih mengeluarkan darah istihadzah. Hadits ini juga menjelaskan apa yang harus dilakukan seorang wanita saat darah haid dan nifas telah berhenti, yaitu hendaknya ia segera mandi dan melaksanakan shalat, juga mengqadha shalat saat itu apabila ia berada dalam dua keadaan ini:
- Darah haid dan nifas tidak terlihat saat ia bersuci dan melakukan persiapan shalat. Jika sebelum bersuci darah keluar lagi, maka ia tidak perlu mengqadha shalat tersebut, karena ia masih dalam keadaan haid. Jika darah berhenti tapi ia berleha-leha dan tidak segera bersuci dan shalat, ia dianggap berdosa dan tetap mengganti shalat tersebut karena ia menanggung kewajiban yang harus ia lakukan saat darah sudah berhenti walaupun belum bersuci.
- Darah haid dan nifas tidak terlihat saat ia berada dalam waktu minimal shalat (cukup untuk melakukan syarat dan rukun shalat saja). Dengan kata lain, ia baru wajib mengqadha shalat jika waktu yang tersisa sebelum shalat berakhir memungkinkan baginya untuk melakukan persiapan shalat dan shalat itu sendiri.
Wanita yang haid dan nifasnya telah berhenti wajib mengqadha shalat sebelum shalat yang ia kerjakan itu, jika keduanya dapat dijamak, yaitu dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya’. Hal ini hanya wajib dilakukan jika darah haid dan nifas berhenti sebelum habis waktu, dan memungkinkan baginya untuk melaksanakan dua shalat tersebut dan bersuci. Mayoritas tabi’in mengambil pendapat tersebut.
Apabila haid dan nifas terjadi di pertengahan waktu shalat dan terus berlanjut sampai shalat selesai, maka hendaknya ia mengqadha shalat tersebut setelah selesai haid dan nifasnya.
- Puasa
Wanita haid dan nifas diharamkan berpuasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah. Jika ia melakukannya, maka puasanya tidak sah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Mu’adzah,
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ»
Dari Muadzah, berkata: “Aku bertanya kepada Aisyah, seorang wanita haid mengqadha puasanya, apakah ia tidak mengqadha shalatnya? Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu orang Haruriyah?’ Aku menjawab, ‘Tidak, aku bukanlah orang Haruriyah, aku hanya bertanya’. Lalu Aisyah mengatakan, ‘Itulah yang menimpa kita, kita diperintahkan untuk mengqadha puasa, dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat’.” (HR. Muslim)
Dapat disimpulkan bahwa para wanita haid saat itu tidak diperkenankan untuk berpuasa. Berbeda dengan orang sakit yang tidak wajib puasa, yang mana jika ia menganggap dirinya mampu untuk berpuasa dan dirinya melakukan puasa maka itu sah hukumnya.
Ijma’ kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid dan nifas dilarang shalat dan puasa, ijma’ juga mengatakan bahwa mereka tidak wajib mengqadha shalat yang ditinggalkannya, tapi tetap diwajibkan mengqadha puasanya. Karena shalat dan puasa itu berbeda, shalat itu dikerjakan berulang-ulang, maka berat untuk mengqadhanya. Sedangkan puasa wajib dilakukan setahun sekali, maka puasa tersebut dapat diqadha sebelum menemui puasa selanjutnya.
Para Fuqaha sepakat apabila wanita yang haid tersebut suci sebelum fajar, maka ia wajib berpuasa pada hari itu, dan dihukumi sah puasa wanita yang telah bersih dari haidnya, walaupun dia mandi besar setelah terbit fajar, karena mandi besar atau thaharah bukanlah syarat sah puasa.
- Thawaf
Tidak ada khilaf diantara Fuqaha bahwa wanita haid tidak terhalang dari pelaksanaan amalan-amalan haji kecuali thawaf dan shalat dua rakaat saat ihram. Dalil keharamannya ialah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya ketika ia haid saat melaksanakan haji,
اصْنَعِيْ مَا يَصْنَعُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْتِ
“Lakukanlah semua kewajiban haji, kecuali thawaf di Baitullah.”
Ijma’ ulama juga mengharamkan thawaf bagi wanita haid dan nifas, baik thawaf wajib maupun thawaf sunah. Para ulama juga berijma’ bahwa wanita haid dan nifas boleh melakukan aktivitas haji selain thawaf dan shalat sunah thawaf (dalam ihram).
Thawaf yang disyari’atkan dalam haji ada 3 macam:
- Thawaf Qudum
Menurut madzhab thawaf qudum adalah thawaf sunah, apabila seorang wanita haid sebelum thawaf qudum, gugur kewajiban ia untuk melaksanakan thawaf secara keseluruhan.
- Thawaf Al-Ifadzah
Biasa disebut thawaf tambahan, thawaf ifadzah merupakan salah satu rukun haji, tidak boleh ditinggalkan dan tidak sah haji seseorang tanpa thawaf ifadzah ini. Apabila seorang wanita haid sebelum melaksanakan thawaf ifadzah, ia cukup dengan melakukan ihram, lalu ditunggu sampai suci dan setelah ia mandi besar, maka ia boleh melakukan thawaf ifadzah. Menurut jumhur apabila dia melakukan thawaf tersebut dalam keadaan haid thawafnya tidak sah.
- Thawaf Wada’
Thawaf wada’ adalah thawaf wajib, dan telah disepakati oleh madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah bahwa wanita yang haid sebelum melakukan thawaf wada’, gugur kewajiban thawafnya, dan hajinya dianggap telah selesai tanpa thawaf wada’.
Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
رُخِّصَ لِلْحَائِضِ أَنْ تَنْفِرَ إِذَا أَفَاضَتْ.
“Diberi rukshah (kemudahan) bagi wanita haid untuk menyelesaikan hajinya dalam thawaf ifadzah.”
Dan masih banyak lagi larangan bagi seorang wanita yang sedang haid, yang akan kami paparkan penjelasannya di part selanjutnya. Wallahu A’lam bish Shawab (Afafnieza/ an-najma.com)
Referensi:
1. Ibnu Qudamah, Al-Mughni
2. Abdurrahman bin Abdullah As-Saggaf, Al-Ibanah wa Al-Ifadhah
3. Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim
4. Muhammad Ali Daulah, Fikih Ahkam al- Haid wa an-Nifas
[…] Telusuri lainnya […]