Fuqaha Generasi Tabi’in #9

1

Masruq bin Al-Ajda’, Tabi’in Senior yang Terkenal Kezuhudannya

Masruq bin al-Ajda’. Ini lah nama yang masyhur dari nama salah satu tabi’in senior yang terkenal dengan kezuhudannya. Ia dilahirkan saat Rasulullah masih hidup, sehingga kedua telinganya mendengar gema Islam yang pertama sejak masa kecilnya. Ia menghabiskan masa hidupnya di zaman yang Rasulullah sabdakan sebagai khoirul qurun.

Nama ayahnya adalah al-Ajda’ bin Malik bin Umayyah bin Abdillah bin Murr bin Salman bin Ma’mar, seorang yang telah menerima Islam sebagai agamanya sejak Rasulullah masih hidup. Ayahnya merupakan termasuk salah satu pasukan kavaleri yang paling mahir di wilayah Yaman, dan merupakan penduduk asli Yaman. Sedangkan ibunya berasal dari suku Hamdan, yaitu salah satu suku Arab yang ada di Yaman. Dari kedua insan inilah lahir seorang tabi’in ahli ilmu nan zuhud, Masruq bin al-Ajda’.

Asal Muasal Nama Masruq

Masruq dalam bahasa Arab sendiri berarti ‘yang dicuri’. Diberi nama Masruq karena pada waktu kecil ia pernah diculik, lalu ditemukan lagi sehingga tersematlah padanya nama Masruq.

Perihal namanya, sahabat Umar pernah menemuinya dan bertanya kepada Masruq, “Siapakah namamu wahai saudaraku dalam Islam?”

Masruq menjawab, “Namaku Masruq bin al-Ajda’.”

Setelah mendengar namanya, maka sahabat Umar pun berkata kepadanya, “Aku pernah mendengar Nabi bersabda, al-Ajda’ adalah setan. Dan engkau adalah Masruq bin Abdurrahman.”

Hal ini dikuatkan dengan perkataan salah seorang tabi’in, asy-Sya’bi, ia berkata, “Di dalam catatan Diwan namanya tertulis Masruq bin Abdurrahman.”

 Diwan yang dimaksud di sini adalah buku yang digunakan oleh kaum Muslimin untuk mencatat nama-nama tentara, orang yang berhak mendapat pemberian dari Baitul Mal dan para pekerja. Adapun orang yang pertama mengadakan catatan Diwan adalah Khalifah Umar bin Khathab. 

Seorang yang Ahli Ilmu

Masruq merupakan salah seorang yang merasakan kehadiran Rasulullah, namun ia tidak meriwayatkan hadits secara langsung dari beliau. Hal itu dikarenakan usianya yang masih kecil. Periwayatan haditsnya ia riwayatkan langsung dari salah seorang sahabat bergelar ‘penulis wahyu’, yaitu sahabat Ubay bin Ka’ab. Masruq juga meriwayatkan hadits yang beliau ambil dari beberapa sahabat senior yang lainnya, di antaranya; sahabat Abu Bakar ash-Shidiq, Ummul Mukminin Aisyah, juga sahabat Umar bin Khathab, ahIi tafsir senior Abdullah bin Mas’ud, serta masih banyak lagi yang lainnya dari kalangan para sahabat.

Melalui para sahabat tersebut, Masruq menerima estafet ilmu dari apa yang telah Rasulullah sabdakan. Ia mereguk dengan puas ilmu fikih serta jelinya pengetahuan dari para sahabat yang mulia. Ia tumbuh menjadi sosok tabi’in yang benar-benar terdidik dengan pendidikan Islam yang kemudian terkenal dengan keteguhan hati dan kezuhudannya terhadap dunia.

Masruq merupakan orang yang paling bersemangat dalam mencari ilmu. Ia bersahabat dengan seorang putra dari sahabat Rasulullah serta pemimpin kaum muslimin, yaitu Abdullah bin Amr bin al-Ash.

Salah satu kisah kesemangatannya dalam menuntut ilmu adalah, Masruq selalu meniatkan mencari ilmunya untuk mendapat ridha Allah, sehingga ia akan bersungguh-sungguh demi bisa mendapatkan satu ilmu.

Suatu hari, Masruq pergi ke Bashrah untuk menemui seseorang yang akan ia tanya mengenai suatu ayat, dan ternyata ia tidak mendapatkan ilmu tersebut di sana. Lalu diberitahukan kepadanya tentang seseorang dari penduduk Syam yang tidak ada di tempat keberadaan Masruq saat itu. Kemudian ia memutuskan pergi ke Syam untuk menemui orang itu demi mencari ilmu tentang ayat tersebut.

Kesungguhannya juga terbukti dalam membaca kitab Allah dan lantunan bacaannya. Ia menghafalnya secara mendalam dan bersungguh-sungguh untuk bisa memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik. Hal ini ia lakukan dengan mencurahkan sebagian besar waktunya demi memahami ilmu yang ia dalami. Ada satu perkataan Masruq yang mencerminkan kecintaannya dengan Al-Qur’an, ia berkata, “Barangsiapa yang ingin mengetahui ilmu para ulama zaman sekarang, ilmu dunia, dan ilmu akhirat, maka hendaklah ia membaca surah al-Waqi’ah”

Imam adz-Dzahabi menjelaskan, hal ini dikarenakan Masruq memahami agungnya isi surah al-Waqi’ah yang isinya meliputi urusan dunia dan akhirat. Tentunya untuk menggapai kondisi ini perlu membacanya dengan tadabur dan memikirkan maknanya, serta menghadirkan hati yang tidak mungkin bisa dirasakan oleh orang yang tidak memiliki ketajaman pemahaman.

Baca Juga: THAWUS BIN KAISAN

Ahli Ibadah yang Zuhud

Masruq adalah seorang ahli ilmu yang banyak mengenal Rabbnya, rasa cintanya kepada Rabbnya sangat meluap-luap. Ia selalu mengingat dosanya, serta selalu memohon ampunan kepada-Nya. Ada salah satu ucapan yang selalu ia katakan,

“Cukuplah seseorang memiliki ilmu untuk merasa takut terhadap Allah, dan cukuplah kebodohan seseorang membuatnya merasa ta’jub dengan amalnya”

Sungguh tidak ada yang lebih baik dari orang yang takut kepada Rabbnya, sehingga dengan hal itu ia akan memenuhi hak-hak sesamanya dengan berlandaskan ilmu, ia pasti juga akan berusaha melaksanakan hak-hak Allah dengan sempurna.

Salah satu potret sifat zuhudnya terhadap dunia adalah, saat ia melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, ia selalu menghabiskan waktu malamnya untuk bersujud. Sehingga teman yang menyertainya pun berkata, “Masruq melaksanakan ibadah haji, dan ia tidak pernah membentangkan alas tidurnya kecuali hanya untuk keningnya saja dalam posisi bersujud sampai ia kembali pulang.” Masruq juga menasihatkan hal yang sama kepada Sa’id bin Jubair yang juga merupakan seorang tabi’in, “Wahai Sa’id, tidak ada sesuatu yang lebih dicintai selain kita membenamkan wajah kita ke tanah.” Bahkan istrinya yang menyaksikan aktivitas sehari-harinya juga merasa iba melihat Masruq yang mendirikan shalat malam sampai kakinya bengkak.

Akhir Hayatnya

Setelah melalui usia yang panjang dengan rasa takut dalam ruku’ dan sujudnya yang penuh khusyuk. Akhirnya jiwa yang penuh rasa cinta kepada Allah itu menghadap Sang Pencipta pada tahun 62 Hijriyah, di kota Mesir.

Semoga dengan kisahnya yang penuh hikmah dan kebaikan bisa menjadi contoh bagi kita, umat yang hidup ribuan tahun setelahnya. Sehingga bisa menyadarkan kita akan pentingnya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dengan senantiasa bersikap zuhud serta tidak mengejar kepentingan duniawi yang bersifat semu. Wallahu A’lam. (Iffah/an-najma.com)

Referensi:

Syaikh Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Kisah Para Tabi’in, (Jakarta Timur: Ummul Qura, 2015)

Imam al-Hafidz Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad bin Ustman adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’. jilid. 4, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 2010)

Izzudin Ibnu Muhammad bin Abi al-Atsir al-Ajzari, AlKamil fi at-Tarikh. jild. 3, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006)

1 Comment
  1. […] Baca lainnya […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.