Sejarah Feminisme #2
Feminisme pertama kali muncul dan berkembang dari masyarakat Barat dengan latar belakang problem mereka yang belum tentu terjadi di tempat lain. Jadi, gerakan feminis di Barat sebenarnya merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu sebabnya adalah pandangan “sebelah mata” terhadap wanita (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) yang dilekatkan kepada mereka.
Dalam sejarahnya, wanita di Barat selalu dipandang dan diberlakukan secara buruk dan tidak adil. Sejak zaman Yunani, tokoh seperti Plato dan Aristoteles, lalu zaman dominasi Kristen pada Abad Pertengahan; dengan tokoh seperti St. Clement dari Alexandaria, St. Agustinus dan St.Thomas Aquinas; hingga awal abad modern, dengan tokoh seperti John Locke, Rousseau, dan Nietzsche; tidak pernah menganggap citra dan kedudukan wanita setara dengan laki-laki. Oleh karena pandangan dan perlakuan buruk itulah, wanita kemudian melakukan protes sehingga memunculkan feminisme.
Feminisme Periode Awal
Feminisme periode awal muncul di Inggris pada 1550-1700. Pada periode ini, feminisme didefinisikan sebagai semua usaha untuk menghadapi perwujudan sistem patriarkal. Istilah patriarkal mengacu pada hubungan kekuatan di mana kepentingan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hubungan kekuatan ini mempunyai banyak bentuk, seperti penggolongan pekerjaan menurut jenis kelamin dan pemberdayaan dalam organisasi masyarakat.
Sebagian besar penulis feminis pada periode ini, mempertanyakan gagasan umum bahwa peremuan adalah manusia berkelas rendah. Gagasan umum ini, lahir dari kisah pelanggaran Hawa di taman Eden (Kitab Kejadian bab 3) di mana ia dianggap tidak mampu berperilaku sesuai moral dan rasionalitasnya lebih rendah daripada laki-laki. Karena alasan ini, perempuan tidak berhak mendapatkan pendidikan.
Juan Luis Viev menulis buku Education of a Christian Woman (diterjemahkan oleh Richard Hyrde,1540), “Perempuan itu rapuh, kewaspadaannya lemah, dan mudah ditipu. Ibu Hawa masuk perangkap setan hanya dengan bujukan sepele. Oleh karena itu, seorang perempuan tidak boleh mengajar, sehingga apabila ia memiliki pendapat dan kepercayaan yang salah atas sesuatu, ia tidak akan menyebarkannya kepada pendengarnya.” Kondisi pendidikan perempuan memang mengalami banyak peningkatan mulai tahun 1550-1700, namun perempuan tetap dilarang untuk mendapatkan pendidikan pada tingkat Universitas. (Sarah Gamble, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, hlm. 3-17)
Gelombang Pertama
Berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dikecam oleh Marry Wollstonecraft melalui tulisannya, A Vindication of the Right of Woman, (terbit di London pada 1792). Ia menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pilihan raya umum (suffrage). Menurutnya, kelemahan yang dimiliki kaum wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan. Lelaki pun kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bernasib sama, lemah dan tertinggal.
Pemikiran Wollstonecraft bergema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Rusia, dan Victoria Calfin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872, menjadi pendukung setia gagasan Wollstonecraft. Oleh karena itu, publikasi A Vindication of the Rights of Woman dianggap sebagai tanda bagi munculnya gelombang feminisme. (Syamsyuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran,hlm.106)
Periode ini melahirkan feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis. Feminisme liberal menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk perempuan, atas dasar kesamaan keberadaannya sebagai makhluk rasional. Feminisme radikal menyatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama feminis radikal adalah menolak institusi keluarga. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki) sehingga perempuan ditindas.
Kelompok paling ekstrim dari gerakan feminis radikal adalah kaum feminis lesbian yang menyatakan bahwa hubungan seks dengan orang yang berbeda jenis kelamin (dalam keluarga) adalah benteng utama kekuatan laki-laki. Hubungan ini menjadi ajang penindasan dan pemerkosaan terhadap perempuan . Sepanjang perempuan meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit berjuang melawan laki-laki. Oleh karena itu, menjadi lesbian dianggap telah terbebas dari dominasi laki-laki.
Sementara itu, feminisme marxis memandang hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan konflik antara kaum borjuis dan kaum proletar. Dalam sebuah keluarga, suami adalah cerminan kaum borjuis karena dialah yang menguasai basis material keluarga (nafkah), sehingga dia mempunyai kekuasaan dan posisi lebih kuat (sebagai kepala keluarga). Sementara istri dan anak-anak adalah kaum proletar yang tertindas. (Siti Muslihati, Feminisme,hlm.31-36). Bersambung. (DR. M. Isa Anshori/an-najma.com)
[…] melahirkan feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis, periode gelombang pertama juga memunculkan […]