Hukum Membersihkan Najis Dengan Dry Cleaning

2

Bagaimanakah hukum membersihkan najis dengan dry cleaning? Berikut penjelasannya.

Mencuci merupakan rutinitas untuk membersihkan pakaian yang kotor akibat terkena noda atau kotoran setelah dipakai. Sebelumnya kita hanya mengenal cara mencuci dengan menggunakan air serta sabun cuci. Namun perkembangan industri tekstil yang sedemikian pesat, maka cara mencuci dengan cara tadi dirasa tidak lagi memuaskan. Sehingga ditemukanlah cara pencucian yang kita kenal dengan istilah dry cleaning.

Disebut dry cleaning karena tidak menggunakan air dalam proses pembersihannya, tetapi menggunakan bahan cairan solvent (yang bahan dasarnya dari minyak mentah). Seiring berkembangnya zaman, banyak orang yang menggunakan cara ini karena dianggap lebih mudah dan praktis serta lebih hemat tenaga dan murah. Berikut penjelasan para ulama dalam menghukumi dry cleaning.

Apa itu Dry Cleaning?

Dry cleaning merupakan salah satu cara membersihkan kotoran tanpa air yang populer pada era modern sekarang ini. Dry cleaning menjadi solusi untuk pakaian yang terbuat dari bahan yang akan rusak jika dicuci menggunakan air, seperti pakaian yang berasal dari serat benang wol, sutera, kulit hewan, polymida (nylon) atau campuran lainnya.

Mencuci dengan cara dry cleaning juga menjadi solusi untuk mencuci pakaian pada saat musim dingin di berbagai negara. Dry cleaning termasuk permasalahan fikih kontemporer, yaitu permasalahan fikih baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para ulama menyebutnya dengan nazilah. Biasanya para ulama membahasnya dalam kitab-kitab fikih nawazil. Pembahasan seputar dry cleaning ini tidak bisa secara langsung kita temukan di kitab-kitab klasik, namun pokok permasalahannya sebenarnya sudah dibahas oleh mereka.

Baca Juga

Apakah Dry Cleaning bisa Menyucikan Najis?

Sebagaimana telah disebutkan bahwa dry cleaning seperti yang dikenal sekarang merupakan teknologi baru yang belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu secara langsung, namun sebenarnya inti dan pokok permasalahannya telah dibahas panjang lebar dalam kitab-kitab fikih klasik. Pokok dry cleaning dikembalikan kepada  perbedaan pendapat ulama tentang hal-hal yang dapat menyucikan najis, apakah najis hanya bisa disucikan dengan air atau bisa dengan apa pun yang dapat menghilangkan najis? Adanya perbedaan tersebut menjadikan ulama berbeda dalam menghukumi dry cleaning.

Pendapat Pertama, menghilangkan najis tidak harus dengan air, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwatkan oleh Aisyah Rahiyallahu Anha, ia berkata:

مَا كَانَ لِإِحْدَانَا إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ، فَإِذَا أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ دَمٍ قَالَتْ بِرِيقِهَا، فَقَصَعَتْهُ بِظُفْرِهَا      

Tidak seorang pun dari kami kecuali hanya memiliki satu pakaian di mana pakaian tersebut juga dipakai saat haid, jika baju tersebut terkena sedikit darah haid dia membasuhnya dengan ludahnya lalu mengeriknya dengan kukunya” (HR. Al-Bukhari (1\ 69) No. 312)

Al-Kasani berkata, “cairan –cairan selain air itu bekerja sepeti air dalam membersihkan, sebab air bisa membersihkan karena air itu encer sehingga bisa menembus sela-sela pakaian”.

Riwayat lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaih Wasallam bersabda:

إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُوْتِرْ 

  “Jika salah seorang di antara kalian beristijmar maka hendaklah dia ganjilkan”                                                                                        

Istijmar adalah cara membersihkan najis setelah buang air besar atau kecil menggunakan batu, maka itu juga menunjukkan bahwa untuk membersihkan najis tidak disyaratkan harus menggunakan air.

Pendapat Kedua, hanya air yang dapat membersihkan najis, selain air tidak dapat membersihkan najis. Ini adalah pendapat Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Zufar dari mazhab Hanafiyah. Dan pendapat yang rajih dari mazhab Malikiyyah, dan juga mazhab Syafi’yyah dan Hanabilah dalam riwayat lain.

Dalil pendapat ini adalah Firman Allah Ta’ala:

(وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا)                                                                                                                       

“Dan Kami turunkan dari langit air untuk menyucikan”  (QS. Al-Furqon: 48)

Ayat tersebut menyebutkan bahwa Allah menurunkan air dari langit sebagai anugerah agar bisa digunakan untuk bersuci, jika bersuci bisa dengan selain air maka nilai anugerahnya pun berkurang atau hilang. Dalil lainnya yaitu hadits Asma’ Radhiyallahu Anha beliau berkata:

جَاءَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَ ﷺ فَقَالَتْ: أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيْضُ فِي الثَّوْبِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ قَالَ: «تَحُتُّهُ، ثُمَّ ‌تَقْرُصُهُ ‌بِالْمَاءِ، وَتَنْضَحُهُ، وَتُصَلِّي فِيْهِ        

“Seorang wanita datang menemui nabi Rasulullah Shalallahu ‘alihi Wasallam seraya bertanya : “ bagaimana pendapatmu jika salah seorang dari kami darah haidnya mengenai pakaian, apa yang harus dia lakukan?” Rasulullah bersabda : “Hendaklah dia mengeriknya, membilasnya dengan air dan menyiramnya, kemudian gunakanlah pakaian itu untuk sholat” (HR. Al-Bukhari (1\ 55) No. 227)

Dalam hadits tersebut Rasulullah memerintahkan untuk membersihkan najis dengan air, maka barang siapa mencuci najis dengan cara lain selain air berarti telah meninggalkan yang diperintahkan oleh Rasulullah.

Manakah pendapat yang Rajih?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “menghilangkan najis dengan cara menyingkirkan sesuatu yang kotor dan najis, sehingga sesuatu apa pun yang dapat menghilangkan najis beserta bekasnya maka sesuatu tersebut bisa menyucikannya, dengan demikian ketika sesuatu yang najis dapat hilang dengan sesuatu apa pun maka sesuatu tersebut dapat menyucikannya.

Pendapat yang kuat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa najis itu bisa hilang dengan cahaya matahari dan angin maka cahaya matahari atau angin tersebut dapat menyucikan tempat di mana najis tersebut berada. Maka apa pun yang dapat menghilangkan obyek najis dan bekasnya, kecuali warna yang membandel yang susah dihilangkan maka itu dimaafkan dan ditoleransi, maka itu bisa membersihkan najis tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa uap yang digunakan untuk mencuci bejana atau pakaian jika dapat menghilangkan najis tersebut maka ia dapat menjadikannya suci. Wallahu A’lam bish Shawab (Aulia Susanti/ an-najma.com)

Referensi:

  1. http://suka-cita-dan-cerita-kita.blogspot.com/2015/04/dry-clean-menurut-pandangan-islam.html
  2. https://www.zaad.my.id/apakah-dry-cleaning-bisa-membersihkan-najis/
2 Comments
  1. […] Sudah baca belum?… Hukum Membersihkan Najis Dengan Dry Cleaning […]

  2. […] Baca lainnya…. Hukum Membersihkan Najis Dengan Dry Cleaning […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.