Fuqaha Generasi Tabi’in #7
Sulaiman bin Yasar
Sulaiman bin Yasar merupakan salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah yang meriwayatkan fikih dari sahabat ridwanullahi ‘alaihim. Ia termasuk salah satu dari ulama yang melanjutkan estafet ilmu Rasulullah dari kalangan tabi’in. Para rawi bersepakat bahwa Sulaiman termasuk salah satu dari tujuh ulama mulia yang tergolong dalam jajaran para tabi’in senior. Dengan adanya tujuh ahli fikih Madinah bukan berarti fikih dan sunnah lainnya hanya berkembang di Madinah saja. Pada hakikatnya sahabat Rasulullah tersebar ke berbagai negeri, sehingga kehadiran sahabat ini akan menjadi panutan dan poros agama Islam bagi seluruh manusia. Sedangkan kota Madinah mengambil peran yang besar dalam bidang fikih dan ilmu-ilmu lainnya daripada kota kota yang lainnya, dikarenakan banyaknya sahabat dan para tabi’in yang menetap di sana.
Pada saat itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menyebarkan para ulama Madinah ke berbagai negeri untuk mengajarkan agama dan fikih kepada mereka yang belum memahami berbagai perkara dalam Islam, serta membimbing dan mengajarkan hukum syariat Islam kepada mereka. Adapun Sulaiman bin Yasar masih menetap di Madinah dan menjadi guru bagi ulama di Madinah yang nantinya akan disebarkan ke seluruh pelosok Daulah Islamiyah.
Kelahiran dan Pertumbuhannya
Namanya adalah Sulaiman bin Shurad bin Jaun bin Abi Al-Jaul bin Minqadz bin Rabi’ah bin Ashram Al-Khuza’i. berasal dari kalangan bani Khuza’ah. Dilahirkan pada tahun 34 Hijriyah, bertepatan dengan masa akhir kekhalifahan Utsman bin Affan. Sulaiman merupakan bekas budak milik Ummul Mukminin Maimunah Al-Hilaliah yang kemudian dimerdekakannya dengan akad mukatabah, yaitu dengan cara Sulaiman berusaha membayarkan sejumlah uang kepada Ummul Mukminin Maimunah yang dari uang tersebut jika telah terkumpul jumlah nominalnya maka ia akan merdeka.
Ada sepenggal kisah dari Sulaiman bersama dengan Ummul Mukminin Aisyah. Sulaiman menceritakan tentang kisahnya, “Aku pernah meminta izin untuk masuk ke rumah Ummul Mukmini Aisyah, lalu ia mengenali suaraku dan ia bertanya, “Apakah itu Sulaiman?”
Aku menjawab, “Benar, Sulaiman.”
Aisyah bertanya lagi, “Apakah engkau telah memenuhi apa yang engkau ajukan pada hakim?” (sejumlah uang yang dibayarkan Sulaiman agar bisa merdeka dari budak)
Aku menjawab, “Sudah, hanya tersisa sedikit saja.”
Aisyah berkata, “Masuklah, sesungguhnya engkau masih seorang hamba selama masih belum melunasinya.”
Demikianlah Sulaiman menjadi anak asuh di rumah Rasulullah di Madinah. Dari sepenggal kisah di atas dapat ditarik satu kesimpulan luar biasa, yaitu posisi Sulaiman yang belum merdeka dari perbudakan menjadikannya mendapat izin untuk memasuki rumah Ummul Mukminin Aisyah. Yang mana hal tersebut bermakna apabila Sulaiman sudah merdeka, bisa jadi Sulaiman sudah tidak diperkenankan lagi untuk masuk ke rumah Ummul Mukminin Aisyah. Dari sini, Sulaiman mendapat banyak kesempatan meriwayatkan dan menghafal hadits dari ummahatul mukminin.
Sifat dan Keutamaanya
Sungguh dalam diri Sulaiman bin Yasar terkumpul banyak kebaikan. Salah satu di antaranya adalah, Sulaiman termasuk dalam ulama yang sangat baik, mulia, taat beragama, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia juga memiliki keutamaan para ulama, kebaikan para ahli ibadah dan ahli fikih yang paham akan urusan agamanya, yang mana kepahamannya tentang agamanya lebih baik dari pada apa yang dipahami oleh muslim lainnya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa Sulaiman bin Yasar lebih utama dari pada Said bin Musayyib. Bagaimana mungkin Sulaiman tidak memahami agamanya dengan baik, sementara ia adalah salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah, bahkan menjadi gurunya para ulama?
Sulaiman adalah pemuka kaum yang berwajah tampan dan berpenampilan bagus. Ada satu kisah menarik dari Sulaiman bin Yasar terkait parasnya yang tampan. Suatu hari, Sulaiman pernah mengalami situasi yang sangat sulit. Berikut kisahnya; saat itu Sulaiman telah menjadi seorang ahli fikih yang tampan juga menjadi seorang pemuka kaum. Sulaiman bersama temannya ada di dalam rumah Al-Hajjaj, ketika itu Sulaiman berkata pada temannya, “Pergilah ke pasar Al-Hajjaj seperti kebiasaanmu setiap hari, dan belilah segala keperluan kami.” Maka temannya itu pun pergi melaksanakan perintah tersebut.
Tidak lama kemudian, setelah itu datanglah wanita cantik kepada Sulaiman seraya berkata, “Kemarilah wahai Sulaiman.” Lalu wanita itu pun merayunya. Akan tetapi Sulaiman hanya memandanginya saja seraya menangis dengan sangat kuat. Setiap kali wanita itu mendekatinya, maka Sulaiman semakin mundur sambil menangis dengan sangat kuat. Wanita itu pun terkejut dan mencoba untuk kembali mengulangi perbuatannya, dan Sulaiman tetap melakukan hal yang sama hingga wanita itu pun berlalu pergi meninggalkannya. Setelah kepergian wanita itu Sulaiman terduduk dan menangis tersedu-sedu sampai temannya tadi kembali dan mendapatinya sedang menangis, maka ia pun bertanya kepada Sulaiman alasan kenapa ia menangis. Awalnya Sulaiman tidak ingin menceritakan apa yang menimpanya, namun temannya terus mendesak hingga Sulaiman menceritakannya, setelah itu temannya pun berlalu pergi dan Sulaiman meninggalkan tempatnya. Dalam sebuah riwayat yang sanadnya munqoti’ disebutkan: Sulaiman berkata, “Aku melihat Yusuf dan seakan-akan aku berkata padanya, “Apakah engkau Yusuf?” orang itu menjawab, “Ya aku Yusuf yang pernah tergoda, sedangkan engkau Sulaiman yang tidak pernah tergoda.”
Demikianlah akhlak Sulaiman bin Yasar yang bertakwa pada Allah, bersungguh-sungguh dalam beribadah, menjadi jajaran para pembesar ahli fikih Madinah yang sangat berpegang teguh pada agamanya.
Wafatnya
Sulaiman bin Yasar meninggal pada tahun 94 Hijriyah yang bertepatan dengan tahun sanatul fuqaha, yaitu tahun di mana banyak ahli ilmu yang meninggal. Di antaranya, Said bin Musayyib, Ali bin Husain, Abu Bakar bin Abdirrahman serta Sulaiman bin Yasar. Wallahu A’lam bish shawab. (Iffah/an-najma.com)
Referensi:
Syaikh Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Kisah Para Tabi’in, (Jakarta Timur: Ummul Qura, 2015)
Imam Al-Hafidz Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad bin Ustman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010)
[…] Telusuri Lainnya […]