Tauhid, Perintah Allah yang Paling Agung

1

Banyak kita temui perintah Allah dalam al-Qur’an atau perintah Allah yang telah disampaikan kepada rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Di antara perintah yang Allah perintahkan kepada kita adalah berbakti kepada kedua orang tua, perintah untuk shalat, puasa, zakat, dan banyak lagi perintah yang Allah wajibkan untuk semua hamba-Nya. Namun, perlu diketahui bahwa perintah Allah yang paling agung adalah tauhid, yaitu benar-benar mengesakan Allah Ta’ala, tidak menyekutukannya dengan suatu apa pun.

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Ushul ats-Tsalasah bahwa, “Perintah Allah yang paling agung adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah.” Dan seluruh perintah Allah yang lain bersifat mengikuti, jika tauhid ini tidak kita amalkan maka tidak akan bermanfaat apa-apa untuk kita. Hal ini juga dibuktikan dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 36 yang artinya,

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri” (QS. An-Nisa’: 36)

Ayat di atas menunjukkan bahwa terdapat sepuluh hak-hak yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba, yang mana Allah mengawalinya dengan menyebutkan hak-Nya yaitu beribadah kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Maka ini bisa menjadi bukti bahwa tauhid adalah perintah yang paling agung, karena ia merupakan pondasi pertama tempat dibangunnya seluruh ajaran Islam.

Menyelami Makna Tauhid

Secara bahasa tauhid adalah mashdar dari fi’il وَحَّدَ – يُوَحِّدُ  yang artinya menjadikan sesuatu satu. Hal tersebut tidak terwujud kecuali dengan melakukan penafian dan penetapan. Misalnya, kita mengatakan, “Tidak sempurna tauhid seseorang, sehingga ia bersaksi bahwa tiada illah selain Allah” artinya ia menafikan uluhiyah dari selain Allah dan menetapkan uluhiyah tersebut untuk-Nya semata.

Adapun secara istilah, penulis Syarh Ushul ats-Tsalasah, Syaikh al-‘Utsaimin telah mendefinisikan bahwa tauhid adalah mengesakan Allah. Artinya hendaknya kita beribadah hanya kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan seorang nabi yang diutus, seorang malaikat, seorang pemimpin, raja, atau siapa saja di antara manusia. Kita diperintahkan hanya untuk beribadah diiringi dengan rasa ta’dzim, harapan, cinta dan kecemasan.

Syaikh al-‘Utsaimin juga menjelaskan ada tiga macam tauhid. Yang pertama, tauhid rububiyah, yaitu mengesakan Allah dalam penciptaan, kekuasaan dan pemeliharaan. Allah berfirman

اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۙوَّهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

Artinya, “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)

Tidak ada satu makhluk-pun yang mengingkari tauhid ini, semua meyakini bahwa ada Dzat Sang Pencipta, Pengatur alam semesta. Jika pun ada yang menolak kerububiyahan Allah, maka itu hanyalah kesombongan belaka, dan bukan murni dari hatinya. Karena sejatinya seluruh hati manusia telah difitrahkan untuk mengimaninya. Sebagaimana firman Allah,

اَفِى اللّٰهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ

Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. Ibrahim: 10)

Sungguh, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang mampu menciptakan sesuatu sebagaimana hebatnya Allah menciptakan seluruh yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada yang mampu menghidupkan dan mematikan kecuali Allah Ta’ala. Lantas bagaimana pula ada yang ingin mengingkarinya?

Yang kedua dari macam-macam tauhid adalah tauhid uluhiyah, yang maknanya mengesakan Allah dalam beribadah, dengan cara hendaklah seseorang tidak beribadah maupun bertaqarrub kepada siapa pun selain Allah, seperti ibadah dan taqarrubnya kepada Allah. Siapa saja yang tidak mengakui tauhid uluhiyah maka dia bisa dikatakan syirik bahkan kafir. Karena tauhid uluhiyah adalah tema yang pertama kali diangkat oleh para rasul untuk berdakwah kepada kaum mereka.  Hal ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!”(QS. An-Nahl: 36)

Ibadah tidak boleh dilaksanakan kecuali hanya kepada Allah. Barang siapa mengabaikan tauhid ini maka ia berstatus musyrik atau kafir, sekalipun ia mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa ash-shifat. Andai kata ada seseorang yang mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma wa ash-shifat secara sempurna, tetapi ia mendatangi kuburan, untuk beribadah dan meminta kepada penghuninya, atau bernadzar untuk memberikan sesajen kepadanya guna mendekatkan diri dan menambah rezeki maka ia termasuk orang yang musyrik.

Macam tauhid yang ketiga adalah tauhid asma’ wa ash-shifat, yaitu mengesakan Allah dalam nama yang Allah namakan bagi diri-Nya dan sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya, baik di dalam kitab-Nya, maupun melalui lisan Rasul-Nya. Pengesaan ini dengan cara menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan menafsirkan apa yang telah ditafsirkan oleh Allah, tanpa pengubahan, peniadaan, pertanyaan bagaimana, dan penyerupaan.

Di saat Allah dijuluki dengan al-Hayyu dan al-Qayyum maka wajib bagi hamba untuk meyakini bahwasanya Allah-lah Yang Maha Hidup. Itulah bentuk keyakinan seorang hamba pada Allah dengan meyakini nama dan sifat yang dimiliki Allah.

Telusuri lainnya

Urgensi Tauhid

Perlu kita renungkan bahwa benar adanya tauhid adalah perintah Allah yang paling agung. Tauhid merupakan hak Allah yang harus kita utamakan sebagai seorang hamba. Tauhid merupakan materi dakwah pertama bagi para rasul kepada kaumnya. Mari kita ingat kembali bagaimana perjuangan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam, yang mendakwahkan tauhid kepada kaumnya selama 950 tahun. Bagaimana perjuangan saudara-saudara kita yang berjuang demi mempertahankan tauhid sebab minimnya orang Islam di negaranya. Tak sedikit yang dibantai, disiksa, dibunuh karena mempertahankan tauhid ini. Sungguh, di akhir zaman seperti sekarang ini, memegang tauhid seperti memegang bara api, butuh kesabaran dan tekad yang kuat. Maka dari ini, sudah selayaknya kita meminta kepada Allah di setiap shalat kita,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

“(Ya Allah), tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)

Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, membimbing kita untuk senantiasa istiqamah memegang sebenar-benar tauhid, dan mengkokohkan hati kita dengan sejernih-jernihnya tauhid. Aamiin…Wallahu A’lam bish Shawab (Azaria/ an-najma.com)

Referensi: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarh Ushul ats-Tsalatsah

1 Comment
  1. […] Baca juga […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.