Fuqaha Generasi Tabi’in #5
‘Amir Asy-Sya’bi, Ulama Ahli Hadist dan Atsar yang Tawadhu
Sebagai Ulama Ahli Hadits dan Atsar
Namanya adalah Amr bin Syurahbil bin ‘Abd bin Dzi Kibar. Dzu Kibar adalah nama suatu tempat di Yaman. Seorang Imam dan ulama yang pandai di zamannya. Ia sering dipanggil dengan sebutan abu Amr Al-Hamdani dan lebih dikenal dengan Asy-Sya’bi. Lahir setelah enam tahun dari kekhalifahan Umar Al-Faruq. Asy-Sya’bi adalah salah satu dari dua anak kembar yang bertubuh kurus, saudara kembarnya telah menyainginya di dalam rahim ibunya sehingga menghambat pertumbuhan Asy-Sya’bi.
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Ulama itu ada empat: Said bin Musayyib di Madinah, ‘Amir Asy-Sya’bi di Kufah, Al-Hasan Al-Bashri di Bashrah, Makhul di Syam.”
Kini kita berada dalam sirah seorang tabi’in mulia yang telah menunjukkan keluasan ilmunya dengan ketawadhuan, hingga masuk sebagai empat ulama yang diakui oleh ahli hadits sekelas Imam Az-Zuhri sebagaimana perkataannya di atas.
Asy-Sya’bi sangat gemar berkutat dengan pelajaran dan ilmu, serta sangat mencintai pengetahuan sehingga ia bersungguh-sungguh mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk menempuh jalan ilmu dengan menundukkan segala kesulitan dan halangan yang menghalangi kecintaannya terhadap ilmu. Bukti kecintaannya itu terungkap dalam perkataannya, “Seandainya seseorang melakukan perjalanan dari ujung Syam sampai ke ujung Yaman, lalu dia menghafal satu kalimat saja yang dapat memberikan manfaat baginya untuk masa depannya maka aku memandang perjalanan itu tidaklah sia-sia.” Hanya dengan menghafal satu kalimat yang berguna untuk masa depan, berjalan sepanjang ujung Syam hingga ujung Yaman menjadi tidak sia-sia. Dengan maksud lain, hendaknya kita bisa mengambil faedah atau menghafal sebuah kalimat yang kelak akan bermanfaat untuk kita dari setiap keadaan kita. Baik itu masa sulit maupun masa mudah sekalipun.
Asy-Sya’bi memiliki sifat tawadhu layaknya ketawadhuan para ulama. Pada suatu hari ada seorang yang berkata kepadanya, “Berilah aku jawaban wahai ahli fikih yang ‘alim.” Maka jawaban ‘Amir Asy-Sya’bi adalah, “Celakalah engkau, janganlah engkau berlebihan dalam memuji dan memuliakan kami dengan apa yang tidak ada dalam diri kami. Ahli fikih itu adalah orang yang menjauhi segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah, sedangkan ahli ilmu itu adalah orang yang takut terhadap Allah. Lalu di manakah posisi kami dari hal itu!?” jelas hal ini ada dalam diri Asy-Sya’bi yang menghafal banyak hadits dan atsar. Namun ia mampu menundukkannya dengan tawadhu.
Kekuatan hafalan Asy-Sya’bi pun telah mengantarkannya menghafal banyak hadist dan atsar yang berkaitan dengan berbagai permasalahan yang diajukan kepada para sahabat yang mulia. Dikaruniai ilmu dan hafalan yang banyak, membuat Asy-Sya’bi pernah berangan-angan tentang suatu harapan yang aneh, saat itu ia mengatakan, “Seandainya aku tidak pernah mengetahui sesuatu pun dari ilmu ini.” Ungkapan yang hanya orang yang mengungkapkannyalah yang paham makna dari apa yang diungkapkan. Kalaulah kita mengetahui rahasia dibalik harapan tersebut kita akan menghargai sikap Asy-Sya’bi tersebut. Ia mengatakan, “ Sesungguhnya kami bukanlah ahli fikih, melainkan kami hanya mendengar suatu hadits lalu kami meriwayatkannya. Akan tetapi, seorang ahli fikih itu adalah orang yang apabila telah mengetahui maka ia mengamalkannya.”
Dari kalimat Asy-Sya’bi tersebut, ia telah memberitahukan suatu pelajaran berharga bagi kita tentang tanggung jawab seorang ahli ilmu dan ahli hadits yang menjadi guru di hadapan khalayak, karena sesungguhnya mengamalkan ilmu itu ibadah. Ilmu akan menjadi alasan dan bukti atas seorang ahli ilmu di hadapan Allah. Maka hendaknya ia mengamalkannya serta memberitahukannya kepada orang yang tidak tahu.
Hormatnya Kepada Para Sahabat yang Mulia
Suatu ketika pernah datang kepadanya seorang laki-laki yang menanyakan suatu masalah, lalu Asy-Sya’bi menjawabnya, “Umar berkata begini dan begitu dalam masalah tersebut. Adapun Ali berkata begini dan begitu.”
Maka orang yang bertanya itu langsung mengajukan pertanyaan yang lain, “Sedangkan engkau, bagaimana pendapatmu wahai abu Amr?”
Maka Asy-Sya’bi pun tersenyum–sambil tersipu malu dan berkata, “Wahai saudaraku, apa yang akan kau perbuat dengan pendapatku setelah engkau mendengar pendapat Umar dan Ali?”
Demikianlah ia menghormati para sahabat yang mulia, menghargai ilmu dan fatwa mereka, serta bersikap tawadhu dari kebanggaan ilmu dan para ulama.
Halaqoh Ilmunya
‘Amir Asy-Sya’bi telah mencapai ilmu yang banyak, bahkan sampai digelar halaqoh besar di masjid jami’ Kufah dan banyak orang yang berkumpul di sekelilingnya, padahal waktu itu para sahabat Rasulullah masih ada di tengah-tengah mereka. Abdullah bin Umar pun pernah melintas di hadapan Asy-Sya’bi ketika ia sedang membacakan Al-Maghazi kepada murid-muridnya. Melihat hal itu Ibnu Umar berkata, “Seakan-akan orang ini ikut menyaksikan peristiwa itu bersama kami. Sungguh ia lebih hafal dan lebih paham dariku mengenai hal tersebut.
Ibnu Sirin juga turut menggambarkan halaqah Asy-Sya’bi di Kufah, ia mengatakan, “Aku datang ke Kufah dan Asy-Sya’bi memiliki halaqah yang sangat besar, padahal para sahabat pada saat itu masih banyak.
Pada suatu kesempatan ada orang yang mendatanginya seraya bertanya, “Siapakah nama istri iblis?” Asy-Sya’bi bukanlah orang yang selalu serius dalam bersikap. Sewaktu-waktu ia memunculkan suatu pernyataan yang dapat menebarkan suasana gembira dan senang di antara orang-orang yang menghadiri majelisnya dan para pengikutnya. Untuk pertanyaan kali ini ia menjawab, “Aku tidak menghadiri pesta pernikahannya.”
Sebuah jawaban yang benar dan cocok untuk perdebatan yang tidak berguna yang dikobarkan oleh beberapa orang yang berlebihan dalam memahami urusan agama mereka. Asy-Sya’bi mengurangi kepentingan perkara tersebut dengan gurauan yang sederhana dan fasih dalam batasannya sendiri serta tidak kembali menimbulkan pertanyaan yang serupa. Wallahu A’lam. (Iffah/an-najma.com)
[…] Baca juga […]