Bolehkan Autopsi Forensik Bagi Mayat?
Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana ia akan menemui ajalnya, baik dalam keadaan baik ataupun buruk. Bila ajal telah tiba, maka tidak ada yang bisa memajukan ataupun mengundurnya. Setelah meninggal, mayat tersebut akan di urus sesuai dengan tuntunan syariat, karena Allah begitu memuliakan organ tubuh manusia yang tidak bernyawa.
Begitu pentingnya menjaga jiwa manusia, maka Allah melarang hamba-Nya untuk melukai diri sendiri dan menyakiti orang lain. Bahkan memerintahkan hamba-Nya agar menghormati mayat. Namun, seiring berkembangnya zaman dan banyaknya kasus, banyak autopsi-autopsi (pembedahan mayat) yang harus dilakukan oleh kalangan medis. Nah, Bagaimana Islam memandang praktik yang tampak bertentangan dengan syariat ini?
Definisi
Autopsi berasal dari kata auto yang berarti sendiri dan opsi yang berarti melihat. Dalam istilah kedokteran, autopsi forensik ialah pemeriksaan terhadap tubuh mayat dengan tujuan menemukan proses penyakit atau adanya cedera, menerangkan penyebabnya serta mencari sebab atas kematian seseorang.
Hukum Autopsi Forensik
Dalam menghukumi kebolehan praktik autopsi, para ulama berbeda pendapat, yaitu:
Pertama, membolehkan. Nah, pendapat ini di keluarkan oleh Hai’ah Kibar Al-Ulama’ (di kerajaan Saudi Arabia), Majma’ Fiqh Islam (di Makkah), Lajnah al-Ifta’ (di kerajaan Yordan Al-Hasyimiyyah), dan Lajnah al-Ifta’ (di Al-Azhar, Mesir), Syaikh Al-Buthi, Syaikh Ibrahim Al-Ya’qubi, dan lainnya.
Dalil yang melandasinya yaitu,
- Dengan mengeluarkan dua kasus yang pernah terjadi di masa ulama salaf, yaitu diperbolehkannya membelah perut mayat wanita yang hamil guna menyelamatkan bayinya.
- Sebuah kaidah fikih yang artinya, “apabila berbenturan antara dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan madharat yang paling besar meskipun harus mengerjakan madharat yang lebih kecil.”
Pada autopsi terdapat dua perkara yang mana keduanya sama-sama menimbulkan madharat. Yakni, Kerusakan kehormatan si mayat dan merugikan kehidupan banyak orang. Terlebih jika mayat tersebut meninggal karena virus menular yang belum teridentifikasi jenisnya. Oleh karenanya, dipertimbangkan mana yang lebih ringan kerusakannya serta membawa manfaat untuk kehidupan orang banyak dan bentuk penghormatan bagi si mayat.
Kemudian dikuatkan lagi dengan sebuah kaidah yang menyatakan bahwa, “perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara tersebut menjadi wajib.” Maknanya adalah, jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan melakukan sebuah perantara, maka perantara tersebut hukumnya pun menjadi wajib, meski tidak ada dalil yang mewajibkannya.
Berdasarkan kaidah di atas, ilmu autopsi sangat dianjurkan untuk dipelajari bahkan wajib pada keadaan-keadaan mendesak. Sebab, menegakkan keadilan adalah hal yang wajib, maka autopsi guna menegakkan keadilan dan keamanan merupakan hal yang wajib pula.
Kedua, mengharamkan. Mereka beralasan karena autopsi pada esensinya melanggar kehormatan mayat. Ini merupakan pendapat Taqiyyuddin An-Nabhani, Hasan As-Saqaf, Syaikh Muhammad Burhan as-Sanbahali, Syaikh Muhammad Bakhait al-Mumti’I, Syaikh Al-Arabi Abu ‘Iyad Ath-Tabkhi, Syaikh Muhammad ‘Iwad Bhari.
Hujjah yang mereka gunakan antara lain:
- Firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas makhluk yang telah kami ciptakan. (QS. Al-Isra’: 70)
- Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Mematahkan tulang seseorang yang telah menjadi mayit, seperti mematahkan tulangnya ketika ia hidup.”
- Mengqiyaskan dengan larangan duduk di atas kuburan yang telah disebutkan di dalam hadits, “Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat ke arahnya,” menunjukkan bahwasannya perkara tersebut tidak diperbolehkan apalagi membedah tubuh si mayat, maka hal itu lebih ditekankan lagi pelarangannya.
- Berdasarkan kaidah fikih, “kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang lain.” Nah, dalam autopsi terdapat bentuk menghilangkan madharat dengan madharat lain. Yaitu, pembuktian dan determinasi melalui pembedahan tubuh mayat untuk mengetahui sebab kematiannya. Namun di sisi lain, hal tersebut berdampak pada madharat yang berkaitan dengan si mayat yang di autopsi, yaitu hilangnya kehormatannya sebagai mayat dan memperburuk penampilannya. Sehingga praktik autopsi tidak diperbolehkan karena masuk dalam kategori kaidah di atas.
Dilihat dari hujjah-hujjah yang diterangkan oleh kedua kelompok di atas, maka pendapat yang membolehkan autopsi forensik dikatakan lebih dekat dengan kebenaran. Dan inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama fikih dan ulama kontemporer. Namun, hukum ini tidak berlaku secara mutlak, artinya, tetap berlaku syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum autopsi dilakukan. Wallahu A’lam bish Shawab (Ustadz Fajrun Mustaqim/ an-najma.com)
[…] Telusuri lainnya […]
[…] Baca Juga […]