Nyai Hj. Masyitah

1

(Pejuang Intelektual Pulau Tambelan)

Ada yang kenal dengan Nyai Hj. Masyitah? Berikut ini sepenggal kisah dari kehidupan beliau.

Minat masyarakat pribumi Indonesia dalam hal pendidikan di tahun-tahun setelah kemerdekaan bisa dikatakan masih sangat minim, terlebih untuk wanita. Doktrin bahwa kelak seorang wanita tak perlu sekolah tinggi karena hanya akan berujung menjadi ibu rumah tangga yang menghujam kuat pada masyarakat Indonesia kala itu.

Namun di balik realita tersebut, selalu ada para tokoh dan pejuang wanita yang memperjuangkan kemajuan pendidikan untuk kaum wanita di Indonesia. Salah satunya adalah Nyai Hj. Masyitah, seorang pejuang intelektual wanita pulau Tambelan. Ia lahir pada tahun 1932 di daerah kepulauan Riau yang dekat dengan pulau Batam, tepatnya di Pulau Sambu. Anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan H. Mansyur dan Hj. Saudah.

Sejak kecil, ia sudah hidup di tengah-tengah keluarga yang kental dengan atmosfer keislamannya. Hal tersebut terbukti dari ibunya yang menjadi guru mengaji tetap di pulau Sambu. Masyarakat setempat yang mengetahui bahwa sang ibu pandai mengajar mengaji akhirnya banyak yang menitipkan anak-anaknya untuk belajar mengaji. Semakin hari semakin banyak anak-anak yang ikut mengaji. Nyai Hj. Masyitah sendiri sudah diminta membantu ibunya mengajar mengaji sejak umur tujuh tahun.

Di umur 13 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah Rakyat (sekarang SD) ia berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama). Tetapi impiannya tersebut tidak disambut baik oleh orang tuanya. Alasannya klasik, orang tuanya beralasan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, asal bisa baca tulis dan pandai mengaji itu sudah cukup.

Tidak mendapat izin dari orang tuanya tidak lantas membuat semangat dan keinginan besar Nyai Hj. Masyitah untuk melanjutkan sekolah menjadi luntur. Sekuat tenaga ia terus berjuang dengan mengikuti les Bahasa Inggris dan sekolah Bahasa Mandarin di samping kesibukannya membantu ibunya mengajar mengaji. Ia berharap suatu waktu nanti, orang tuanya terbuka hatinya dan memberi izin untuknya melanjutkan sekolah di PGA.

Telusuri lainnya

Hingga suatu waktu, saat ia membaca sebuah majalah ia melihat ada pengumuman tentang pendaftaran siswa baru untuk sekolah PGA. Pendaftaran itu memang sudah ditutup, tapi entah kenapa ia merasa ada dorongan yang sangat kuat dalam dirinya. Setelah memberanikan diri untuk menyampaikan keinginan hatinya, akhirnya hati ayahnya terbuka dan mengizinkannya untuk melanjutkan sekolah di PGA dan langsung di antar ke Gedung PGA di daerah Tanjung Pinang.

Setelah bertemu dengan pihak sekolah, ia kembali kecewa karena pendaftaran sekolah memang sudah ditutup. Tapi Nyai Hj. Masyitah tetap kekeh dengan pendiriannya dan memohon untuk bisa mengikuti tes seleksi masuk. Akhirnya ia diberi kesempatan dengan menjalani serangkaian tes yang seharusnya diperuntukkan siswa kelas dua. Akhirnya dia lulus tes tersebut dan keberhasilannya menjadi buah manis dari kesabarannya selama ini.

Akhirnya impiannya terwujud. Dia menjalani hari-harinya di sekolah PGA dengan tekun dan semangat belajar yang tinggi. Meski terkadang ia teringat dengan ayah dan ibunya di pulau Sambu. Setelah menyelesaikan pendidikan PGA, Nyai Hj. Masyitah ditugaskan di daerah terpencil untuk menjadi guru. Hal tersebut sengaja dilakukan agar masyarakatnya tersentuh ilmu pengetahuan dan pentingnya belajar. Terlebih di tempat ia di tugaskan mengajar, tempatnya di pulau Tambelan. Pulau Tambelan adalah pulau terpencil dengan jumlah penduduk sedikit dan terisolasi di laut China Selatan.

Di tempat ia bertugas ini, ia bergerak seperti tak mengenal waktu. Rutinitas hariannya dari pagi hingga petang adalah mengajar di sekolah muallimi. Malamnya ia berkeliling dari sudut gang ke gang yang lainya, dari rumah ke rumah warga yang memiliki anak perempuan untuk menyampaikan pentingnya seorang wanita menuntut ilmu. Awal kedatangannya tidak di sambut baik oleh masyarakat setempat. Terlebih Ketika ia menyampaikan kampanye tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak perempuan. Yang lebih memprihatinkan adalah sikap masyarakat pulau Tambelan yang melarang anak-anak perempuannya keluar rumah, khawatir terjadi apa-apa. Jangankan keluar rumah, sekolah pun tidak diperbolehkan. Masjid-masjid pun sepi karena tidak ada yang belajar mengaji seperti yang ia dapati di kampung halamannya. Aktifitas anak-anak perempuan benar-benar dibatasi di daerah ini.

Beranjak dari hal tersebut, Nyai Hj. Masyitah memiliki misi besar yang ingin dicapainya, yaitu membebaskan masyarakat Pulau Tambelan dari ketertinggalan, yang membuat mereka terpinggirkan dari khalayak pada umumnya. Berkat perjuangannya yang tak kenal lelah, akhirnya hati masyarakat pun terbuka dan mengizinkan anak-anak perempuannya untuk sekolah. Nyai Hj. Masyitah tinggal di Pulau Tambelan kurang lebih dua puluh tahun. Ia menghabiskan seperlima usia hidupnya untuk mengabdikan dirinya di sana. Saat akhirnya ia dipindahkan, masyarakat Pulau Tambelan merasa kehilangan. Karena berkat perjuangan dan kerja keras Nyai Hj. Masyitahlah akhirnya Pulau Tambelan mulai memahami pentingnya ilmu dan menyadari kekeliruannya selama ini. Wallahu A’lam bish Shawwab (Majalah an-najma/ Adnaw-js)

1 Comment
Leave A Reply

Your email address will not be published.