WANITA DALAM PERADABAN EROPA KRISTEN
Setelah membahas wanita dalam peradaban Romawi, pada kesempatan ini, kita akan membahas tentang wanita dalam peradaban Eropa Kristen. Selamat membaca.
Meskipun lahir di Palestina, agama Kristen justru berkembang pesat di Eropa. Bermula pada abad pertama, agama Kristen mendapat akar yang kokoh pada abad kedua, tumbuh secara luas pada abad ketiga, dan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi pada akhir abad keempat. Pada 311 M, Constantine (272-337 M) mengeluarkan Dekrit Milan yang memberi toleransi kepada agama Kristen. Lebih dari sepuluh windu (80 tahun) kemudian, yaitu pada 392 M, Theodosius I menyatakan agama Kristen sebagai agama negara.
Pada perkembangan selanjutnya, kekuasaan Gereja mendominasi Eropa. Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat dikekang. Perkembangan ilmiah ditekan. Akibatnya, masyarakat Eropa Kristen menjadi masyarakat yang terbelakang. Masa ini terjadi selama hampir seribu tahun, dari abad 4 sampai 15 M. Dalam sejarah Barat, masa dominasi kekuasaan Gereja itu disebut The Dark Ages atau Zaman Kegelapan.
Doktrin Gereja Tentang Wanita pada Masa Eropa Kristen
Pada mulanya, Kristen mampu berfungsi baik dalam mengakhiri kebiasaan tidak bermoral, membersihkan kehidupan dari berbagai ketidaksenonohan, menghilangkan pelacuran, memperbaiki wanita jalang, dan mengajarkan moral kepada masyarakat. Akan tetapi konsep yang dibawa Kristen tentang hubungan perkawinan tidak hanya menentang kodrat manusia. Konsep itu bahkan menjurus ke arah sikap sangat ekstrim.
Menurut doktrin dasar Kristen, wanita adalah ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanita lah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan menuntunnya ke neraka. Seluruh penyakit dan kesulitan manusia berasal dari wanita. Wanita harus merasa malu dengan kecantikan dan keindahannya karena ia adalah sumber godaan setan. Wanita harus senantiasa menebus dosa yang selalu melekat pada dirinya. Wanita bertanggung jawab atas segala ketidak beruntungan dunia ini.
Tertullian (160-225 M) menyatakan, “Tidaklah engkau menyadari bahwa engkaulah si Hawa itu? Kutukan yang dijatuhkan Tuhan kepada kaum sejenismu akan terus memberatkan dunia. Karena bersalah, maka engkau mesti menanggung derita. Engkau adalah pintu masuknya setan.”
Dalam pandangan St. Jerome, wanita adalah akar dari segala kejahatan. Penilaian serupa dinyatakan oleh St. John Chrysostom (345 M-407 M), “Tidak ada gunanya lelaki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih adalah lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna-warna indah.”
Tokoh-tokoh yang hidup jauh setelah mereka mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda. St, Albertus Magnus (1200-1280 M) menyatakan, “Perempuan, adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya, serba kurang dibanding laki-laki. Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya sendiri dan cenderung melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya, dengan cara berdusta dan tipu muslihat ala iblis. Perempuan tidak cerdas, namun licik, seperti ular berbisa dan setan bertanduk. Jika rasio menuntun laki-laki kepada kebaikan, emosi menyeret perempuan kepada kejahatan.”
Demikian pula St. Thomas Aquinas menyamakan wanita dengan anak-anak, baik secara fisik maupun mental. Wajarlah jika kemudian peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah tangga saja. Wanita tidak dibenarkan ikut campur dalam ‘urusan laki-laki’. (Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 104-105).
Doktrin kedua adalah mengenai hubungan seksual antara kaum pria dan wanita sebagai peristiwa kotor walaupun sudah dalam ikatan perkawinan sah. Pandangan Gereja tentang moral berakar di Eropa di bawah pengaruh Neo Platonisme. Gereja Kristen membimbingnya ke arah ekstrim yang logis. Sebagai konsekuensinya, keperawanan dan keperjakaannya menjadi kriteria bagi watak kebangsawanan. Kehidupan rumah tangga dipandang sebagai keharusan Iblis. Menghindari perkawinan menjadi simbol bagi kesucian dan kemurnian serta menjadi tanda bagi watak yang bermoral. Untuk hidup di lingkungan agama yang bersih, lelaki tidak diperkenankan menikah. Ia harus hidup terpisah dari istrinya dan berpantang melakukan hubungan badan.
Pandangan yang menyatakan bahwa hubungan badani sebagai peristiwa menjijikkan diajarkan berulang kali dalam benak pemeluk Kristen dengan berbagai cara. Sebagai contoh, jika sepasang suami istri tidur seranjang semalaman sebelum festival Gereja, maka mereka tidak diperkenankan berpartisipasi di dalamnya. Mereka dianggap mengotori fungsi keagamaan jika diperkenankan terlibat dalam festival.
Pandangan Gereja ini mempengaruhi secara kurang baik terhadap cinta dan keturunan, bahkan antara anak dan ibu. Sebab, semua hubungan yang dihasilkan dari ikatan perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang busuk dan penuh dosa.
Kedua doktrin ini tidak hanya menyebabkan kejatuhan wanita secara moral, tetapi juga membongkar tradisi-tradisi yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan rumah tangga cukup memusingkan kaum pria maupun wanita. Status wanita yang melahirkan keturunan dianggap sebagai dosa. (Abul A’la Al-Maududi, Al-Hijab, hlm. 22-24) Wallahu A’lam bish Shawab.
[…] Baca juga […]