WANITA DALAM PERADABAN ROMAWI
Menjelang abad ke-8 SM, muncullah komunitas petani di tujuh bukit Roma dekat sungai Tiber di Italia Tengah. Mereka dikenal sebagai leluhur bangsa Latin dalam perkembangan sekian abad berikutnya, bangsa Latin mampu mendominasi Eropa Barat dan wilayah sekitar Laut Tengah. Negara-negara kota di Yunani pun akhirnya berhasil mereka kuasai pada abad ke-6 SM. Meski kuat secara militer dan ketatanegaraan, tetapi bangsa Romawi menyerap peradaban Yunani yang lebih maju. Lantas bagaimana keadaan wanitanya? Pada kesempatan kali ini kita akan membahas wanita dalam peradaban Romawi.
Wanita Dihormati dalam Peradaban Romawi
Ketika bangsa Romawi mulai mengenal peradaban, mereka mendudukkan wanita secara terhormat. Wanita desa dan para pemudi dikenakan disiplin keluarga yang sangat keras. Kesucian wanita dianggap sebagai sesuatu yang berharga dan dijadikan kriteria bagi kesucian wataknya. Saat itu, bangsa Romawi memang mempunyai standar moral tinggi. Pernah seorang senator mencium istrinya di hadapan anak perempuannya. Peristiwa ini dianggap menurunkan martabat bangsa. Senator tersebut akhirnya dijatuhi hukuman. Pada waktu itu tidak ada legitimasi dan tata krama mengenai hubungan pria wanita kecuali melalui perkawinan. Seorang wanita dianggap berharga dan patut dihormati hanya jika telah diperistri. Walaupun terdapat kegiatan pelacuran, dan secara diam-diam kaum lelaki bebas melakukan hubungan tidak sah dengan para pelacur, tetapi kebanyakan bangsa Romawi merasa takut melakukannya. Sebab, secara individu yang melakukan hubungan tidak sah akan dipandang rendah dalam pergaulannya.
Wanita Diberi Kebebasan
Dengan semakin majunya jalan menuju peradaban, pandangan bangsa Romawi tentang posisi kaum wanita mengalami perubahan yang serius. Undang-undang yang mengatur perkawinan dan perceraian secara struktur keluarga, secara perlahan-lahan mengalami metamorfosa. Kondisi ini berubah menjadi lebih buruk. Perkawinan dibatasi dan tanggung jawab perkawinan menjadi sangat ringan. Lebih dari itu, wanita mendapatkan hak kepemilikan penuh lewat warisan dan kepemilikan lain. Hukum memberi kebebasan bagi wanita dari tanggung jawab ayah dan suaminya. Jadi, kebebasan kaum wanita Romawi ini tidak hanya tampak secara ekonomis, tetapi dengan perlahan-lahan mendapatkan porsi dari kemakmuran secara nasional. Wanita berhak meminjamkan uang kepada suaminya dengan bunga yang tinggi. Akibatnya, suami yang memiliki istri kaya menjadi seperti seorang budak. Perceraian menjadi sangat mudah. Perkawinan menjadi sesuatu yang sangat rapuh.
Seneca (4 SM- 6 SM), seorang filosof dan negarawan terkenal, dengan kerasnya melontarkan kritik terhadap warga masyarakatnya lantaran tingginya angka perceraian. Ia berkata, “Sekarang, perceraian di Roma ini bukanlah sesuatu yang memalukan kaum wanita untuk menghitung usia mereka dengan menghitung jumlah suami yang pernah dinikahinya.”
Pada saat itu, kaum wanita mempunyai beberapa suami. Marial (43 Sm- 104 M ) menerangkan bahwa seorang wanita telah mempunyai sepuluh suami. Juvenal (60 SM -130 SM) pernah menulis tentang seorang wanita yang berganti delapan suami dalam tempo lima tahun. St. Jerome (340 M -420 M) mencatat suatu keterangan bahwa seorang wanita cantik mempunyai suami ke dua puluh tiga sebagai suami terakhir, sedang wanita tersebut menjadi istri yang kedua puluh satu dari suaminya tersebut.
Wanita Direndahkan
Selama masa ini, hubungan antara pria dan wanita secara perlahan-lahan menjadi tidak dihormati. Akibatnya, para pengajur moral memandang perzinaan sebagai suatu pelanggaran kecil yang tidak perlu dihukum. Cato (234 M-143 SM) yang ditunjuk sebagai pemeriksa di Roma (tahun 184 SM) untuk mengamati pelanggaran terhadap moralitas masyarakat, secara terbuka mengatakan bahwa kenakalan kaum muda masih dalam batas-batas hukum. Cicero (106 SM -35 SM) bahkan membela dan mengizinkan keteledoran moral di kalangan remaja. Tetus (abad pertama M), yang dikenal sangat keras dalam hal moral, menasihati murid-muridnya sebagai berikut, “Hindarilah wanita sebelum perkawinan. Tetapi mereka yang tidak kuat menahan godaan harus bisa menahan diri dari siksaan.”
Ketika moralitas masyarakat menjadi lemah, maka badai kebejatan seksual, ketelanjangan, dan kekacauan melanda Roma. Panggung sandiwara memberikan gambaran tentang kebejatan moral dan menampilkan pementasan-pementasan tanpa busana. Rumah tinggal dihiasi dengan lukisan telanjang tak bermoral. Pelacuran menjadi begitu populer dan menyebar. Kaisar Tiberius (14 M- 37 M) mengukuhkan suatu hukum yang melarang kaum wanita bangsawan Romawi dari kalangan pelacur. Flora menjadi populer dalam olahraga bangsa Romawi yang menampilkan wanita telanjang diadu dalam suatu perlombaan. Pria dan wanita mandi bersama dalam pemandian umum. Literatur Roma menjadi penuh dengan tema-tema cabul dan tidak bermoral yang menyebabkan tidak ada pekerjaan tulis menulis yang sunyi dari tema cabul tersebut. (Abul A’la Al-Maududi, Al- Hijab, hlm. 19-22)
Jadi, kedudukan wanita dalam peradaban Romawi mengalami pergeseran dari dihormati, diberi kebebasan yang kebablasan, dan akhirnya direndahkan. Demikianlah yang terjadi jika peradaban tidak dibangun di atas landasan wahyu ilahi, Wallahu A’lam bish Showwab. (Ust. Isa Anshori)