Hukum Pelaminaan dalam Pernikahan
Pelaminan dalam pernikahan atau walimatul ‘urs (pesta pernikahan) adalah ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melihat ada bekas kuning-kuning pada pakaiannya Abdurrahman bin ‘Auf. Maka beliau bertanya, “Apa ini?” ia menjawab, Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita Anshar dengan mahar seberat biji dari emas.” Maka beliau bersabda,” Semoga Allah memberkahimu. Selenggarakanlah walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing.” (HR. Muslim)
Banyak fuqaha menjelaskan bahwasannya walimatul ‘urs disyariatkan untuk mengumumkan pernikahan yang menghalalkan hubungan suami istri dan perpindahan status kepemilikan. Sehingga menghilangkan kecurigaan dan fitnah yang datang dari masyarakat, karena mereka telah mengetahui bahwa kedua insan tersebut telah menjadi pasangan suami istri yang sah.
Selain itu walimatul ‘urs juga bertujuan untuk menjamu para kerabat, keluarga, tetangga, baik yang kaya maupun yang miskin. Sedangkan mengkhususkan walimatul ‘urs hanya dengan mengundang orang-orang kaya saja, merupakan kedzaliman yang dibenci oleh Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undagan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu permasalahan yang sering terjadi dan menjadi perdebatan di kalangan umat Islam dalam melaksanakan walimatul ‘urs adalah masalah pelaminan bagi kedua mempelai. Duduk berdua di atas pelaminan dan disaksikan oleh para tamu undangan menjadi perkara yang menimbulkan pro dan kontra, sehingga ada yang menganggapnya haram dan ada yang membolehkannya.
Hukum Pelaminan dalam Pernikahan
Pelaminan atau dalam bahasa arabnya disebut al-Minashshoh (المنصة) adalah tempat yang ditinggikan agar mempelai wanita tampak jelas di hadapan para tamu undangan wanita. Perbuatan ini termasuk adat-istiadat orang Arab terdahulu, dimana para wanita berkumpul di sekitar mempelai wanita untuk menyanyi dan menghiburnya, sebelum mempelai wanita berpindah ke rumah suaminya dengan kebahagiaan dan sakinah yang menjadi tujuan pernikahan. Lambat laun adat-istiadat ini mengalami perubahan, dimana kedua mempelai (pria dan wanita) duduk berdua di atas pelaminan dan disaksikan oleh semua tamu undangan yang hadir (laki-laki maupun perempuan).
Dalam hal ini, al-Lajnah ad-Daimah dalam fatwanya no. 19/120, menyatakan:
“Mempelai laki-laki duduk di atas pelaminan di samping mempelai wanita di hadapan para tamu undangan wanita yang bukan mahramnya. Mempelai laki-laki dengan jelas bisa memperhatikan mereka, mereka juga bisa memperhatikan mempelai laki-laki, semuannya berhias dengan sempurna. Hal ini tidak boleh dilakukan bahkan termasuk kemungkaran yang wajib diingkari dan dihilangkan oleh para wali dari semua wanita yang menghadiri walimah tersebut. semuanya hendaknya mengkondisikan semua orang yang berada di bawah perwaliannya, termasuk instansi yang lain sebagai waliyul para hakim. Para ulama dan semua yang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, semuanya hendaknya sesuai dengan jalur masing-masing baik dengan tindakan atau dengan nasihat. Termasuk penggunaan rebana dan semua yang diharamkan biasahnya juga menghiasi pesta seperti ini. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya, keridhaan-Nya, dan menjauhkan kita semua dari perbuatan keji baik yang nampak maupun yang tersembunyi, juga menuntun kita ke jalan menuju petunjuk-Nya.”
Dalam situs resmi islamqa.info (سؤال وجواب لإسلام) yang diasuh oleh syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam jawaban atas pertanyaan
(حكم العمارية أوجلوس العروس على منصة والناس يدورون حولها) pada tanggal 02-01-2017 menjelaskan “Tidak ada dosa bagi seorang mempelai wanita duduk dipelaminan yang disaksikan oleh tamu undangan wanita saja, begitu juga tidak ada dosa bagi mempelai pria duduk di atas pelaminan yang disaksikan oleh para tamu pria saja, dengan tidak disertai musik jahiliyah dan bercampur baurnya antara kaum laki-laki dan perempuan. Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka tidak ada masalah duduk di atas pelaminan bagi para mempelai.”
Berdasarkan penjelasan di atas bisa dipahami, bahwa duduk di pelaminan bagi mempelai bukanlah hal yang baru. Orang-orang Arab jahiliyah telah mengenal perkara ini, begitu pula kaum muslimin di permulaan Islam. Pada waktu itu, pelaminan hanya diperuntukkan bagi mempelai wanita dan khusus di hadapan para tamu undangan wanita tanpa ada tamu undangan laki-laki. Namun sangat berbeda dengan apa yang kita saksikan pada pelaminan pernikahan sekarang ini. Kedua mempelai dengan seluruh dandanan dan perhiasannya disaksikan oleh semua mata yang hadir dalam pesta pernikahan tersebut, sehingga menimbulkan fitnah serta kerusakan yang besar bagi kaum muslimin. Bila suara wanita yang dilemah lembutkan saja terlarang karena dapat menimbulkan fitnah bagi mereka yang berpenyakit hatinya, lantas bagaimana dengan kecantikan fisik mereka tentunya lebih terlarang lagi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapakanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab [33]: 32)
Wallahu ‘Alam bis Shawab (Ustadz Tengku Azhar/ an-Najma.com)
[…] Telusuri lainnya […]