Hukum Aborsi Janin Hasil Zina dan Cacat Genetik

0

Aborsi masih menjadi perbincangan hangat dan emosional di dunia, tak terkecuali Indonesia. Setiap tahunnya, berjuta-juta perempuan di dunia memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dengan cara aborsi.

Para ulama dalam memandang permasalahan aborsi sangat beragam. Namun, pendapat yang mendekati kebenaran adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Ibrahim bin Muhammad Qosim bin Muhammad Rahim dalam kitabnya Ahkam Al-Ijhad yaitu, “Bagaimanapun hakikatnya, praktek aborsi tetaplah terlarang untuk di lakukan, kecuali pada kondisi darurat dan adanya hajat yang mendesak. Seperti jika kondisi ibu sangat tidak memungkinkan untuk mempertahankan janinnya karena sakit parah.”

Ibnu Qoyyim berkata: “Apabila aborsi dilakukan pada permulaan kehamilan, sebelum ditiupkannya ruh (4 bulan), maka ini merupakan dosa besar karena menghalangi proses penyempurnaan janin. Hanya saja dosanya lebih kecil dibandingkan apabila sudah ditiupkan ruh di dalamnya. Sedangkan aborsi yang dilakukan setelah ditiupkannya ruh, maka perbuatan ini sama dengan membunuh seorang mukmin.”

Lantas bagaimana Islam memandang aborsi yang dilakukan pada janin hasil zina dan cacat genetik?

Definisi Aborsi

Dalam KBBI aborsi di artikan sebagai keguguran, yaitu terpecahnya embrio (cikal bakal anak dari hasil pembuahan sel telur) sebelum habis bulan keempat dari kehamilan. Adapun dalam bahasa Arab, aborsi diwakilkan dengan kata (لإِجْهَاضُ) yang berasal dari kata (جَهَضَ-يَجْهَضُ-جَهْضًا) yang artinya mencegah, menjauhkan, menggelincirkan, dan menggugurkan anak.

Hukum Aborsi Janin Hasil Zina

Jika aborsi yang dilakukan terhadap janin hasil dari pernikahan yang sah hukumnya tidak diperbolehkan, kecuali dalam kondisi darurat dan adanya hajat yang mendesak. Maka aborsi pada janin hasil zina lebih besar pengharamannya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan ada seoang wanita yang mengaku telah berzina kepada Rasulullah, sedangkan ketika itu ia dalam keadaan hamil. Maka Rasulullah pun menyuruhnya pulang dan kembali lagi untuk dirajam setelah selesai melahirkan dan menyapih anaknya. Dari kisah tersebut dapat disimpulkan betapa syari’at sangat menjaga janin meskipun hasil dari perzinaan.

Al-Imam Al-Qarafi mengatakan: “Bahwasannya maksiat bukanlah sebab seorang mendapatkan rukhshah (keringanan). Oleh karena itu, orang yang bermaksiat ketika safarnya maka ia tidak mendapatkan keringanan untuk mengqasar shalatnya, dan tidak boleh pula berbuka puasa (dari puasanya) karena sebab safar yang dilakukannya adalah sebuah  kemaksiatan, sehingga tidak layak untuk mendapatkan rukhshah. Karena pemberian rukhshah atas kemaksiatan merupakan upaya untuk memperbanyak kemaksiatan tersebut dengan memberikan keleluasan seorang mukallaf dengan sebab kemaksiatannya.”

Hukum Aborsi Janin Cacat Genetik

Cacat genetik adalah ketidak sempurnaan dalam susunan gen pada bayi. Kecacatan pada gen dapat menimbulkan perubahan pada bayi, baik berupa fisiknya (yakni bentuk badan maupun jenis kelamin) menjadi abnormal, perubahan fungsi dan metabolisme tubuh hingga gangguan intelektual pada bayi. Contoh cacat genetik adalah polidiakatil (berjari banyak) dan albinisme (tubuh tidak memiliki melanin, sehingga berwarna pucat).

Mengenai hukum aborsi janin cacat genetik, para ulama kontemporer berbeda pendapat:

Pertama: pendapat yang membolehkan. Pendapat ini dipilih oleh syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Beliau menjelasakan dalam fatwanya bahwa ada banyak sebab kecacatan dalam janin yang akan menimbulkan kerusakan dan kematian.

Jika kecacatannya begitu rinci dan nyata dan tidak bisa diobati melalui penanganan dokter spesialis, maka pendapat yang rajih menurut beliau, boleh menggugurkan janin tersebut sebelum ditiupkannya ruh. Tentunya hal ini disertai izin dari kedua pasangan suami istri. Sedangkan apabila telah ditiupkan ruh, maka hukumnya haram sebagaimana pengharaman aborsi secara umum.

Pendapat tersebut selaras dengan fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya sorang wanita hamil yang mana ia disarankan oleh dokter untuk menggugurkan kandungannya karena diperkirakan akan lahir cacat.

Kedua: pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak, baik sebelum  atau setelah ditiupkannya ruh kecuali jika hal tersebut mengancam nyawa sang ibu. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdul Azizi bin Baz.

Menurut beliau banyak dokter yang menyampaikan dugaan-dugaan mereka, namun Allah membatalkan dugaan mereka, yaitu anak lahir dengan selamat. Terkadang keadaan bisa berubah. Mereka menduga janin akan cacat, namun bisa jadi pada bulan kelima atau keenam kondisinya berubah menjadi normal. Hal tersebut disebabkan karena Allah telah memberikan kesembuhan serta faktor-faktor yang menyebabkan cacat menjadi hilang.

Baca juga: Hukum Wanita Menjadi Pubilc Speaker

Selain itu Allah senantiasa menguji hamba-Nya dengan kesenangan dan kesulitan. Jika pada akhirnya janin tersebut terlahir cacat, maka kedua orang tuanya pun bisa mendidiknya dan tetap sabar mengurusinya. Tentu dengan pahala yang sangat besar. Namun jika pada akhirnya mereka terpaksa menyerahkannya ke panti rehabilitasi dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan, maka tidak mengapa.

Pendapat ini adalah rajih. Yakni tidak boleh melakukan aborsi pada janin kelainan genetik. Baik setelah atau sebelum ditiupkannya ruh. Karena akan mendatangkan bahaya yang besar bagi sang ibu, serta menyebabkan kesulitan bagi janin dan keluarganya.

Dapat disimpulkan bahwasannya hukum aborsi janin hasil zina dan cacat genetik tidak diperbolehkan, kecuali jika terdapat kondisi darurat yang dapat mengancam keselamatan sang ibu. Wallahu ‘Alam bish Shawab (Ustadz Fajrun Mustaqim/ an-najma.com)

Referensi:

  1. Ibnu Jauzi, Ahkam An-Nisa
  2. Ibrahim bin Muhammad Qosim bin Muhammad Rahim, Ahkam Al-Ijhad Hukum Aborsi Janin Cacat Genetik Menurut Syar’i (Skripsi)
  3. https://islamqa.info/ar/13331
Leave A Reply

Your email address will not be published.