Fatimah binti Abdul Malik
(Rela menukar gemilang harta dengan kesederhanaan)
Fatimah binti Abdul Malik merupakan wanita mulia yang rela menukar kehidupan bergelimang harta dengan kehidupan yang sederhana. Ia dilahirkan di Damaskus dan tumbuh berkembang di tengah-tengah keluarga khalifah. Bagaimana tidak, beliau adalah satu-satunya anak perempuan, sedangkan empat saudara beliau yang lain adalah tokoh Khulafa’ Islam yaitu, Khalifah al-Walid (86 H), Khalifah Sulaiman (96 H), Khalifah Yazid (101 H), dan Khalifah Hisyam (105 H) putera dari Abdul Malik bin Marwan.
Sedangkan kakeknya, Marwan adalah seorang khalifah. Begitu juga ayah beliau sendiri, yaitu Abdul Malik, seorang khalifah besar yang menguasai negeri Syam, Irak, Hijaz, Yaman, Iran, Kaukasia, terus ke sebelah timur. Begitu juga Mesir, Sudan, Libia, Tunis, Aljazair, Madrid dan Spanyol. Oleh karena itu, kekuasaan, kekayaan, pelayanan, pakaian, dan perhiasan terbaik telah beliau peroleh dengan mudah sejak kecil.
Menginjak usia dewasa, beliau dipinang oleh seorang pemuda terpandang yang juga dari kalangan bangsawan, yaitu khalifah terbesar dalam sejarah setelah Khulafaur Rasyidin, Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa di tahun 99 H. Pesta megah pun digelar. Tak lama setelah menikah, Umar ditunjuk untuk menjadi gubernur di Madinah, keduanya pun hidup bahagia dan berkecukupan.
Fatimah dan Umar keluar dari istana ayahnya dengan membawa banyak perhiasan emas, permata mutu-manikam yang tidak ternilai harganya. Di antara sekian banyak anting-anting yang beliau punya, ada sebuah anting-anting yang terkenal dengan nama “Anting Maris atau Mariah” yang merupakan sumber ilham para penyair dalam mengubah lagu.
Seorang yang hidup bergelimang kenikmatan dan kemewahan, pasti akan menjadikan kemewahan dan kenikmatan tersebut sebagai teman karibnya, sehingga siapa pun pasti tak mau berpisah dengannya. Namun tidak begitu dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat beliau mendapat amanah sebagai seorang khalifah, Umar memutuskan untuk meninggalkan semua kemewahan hidup yang dijalaninya bersama Fatimah. Beliau tak ingin bertahta di atas kemegahan sementara ada rakyatnya yang hidup dalam kesusahan.
Umar memberi pilihan kepada Fatimah, yaitu hidup sederhana bersamanya atau tetap bergelimang kekayaan namun tanpa Umar di sisinya. Dengan penuh keikhlasan, Fatimah binti Abdul Malik tetap memilih hidup bersama sang suami tercinta.
Dengan rasa zuhudnya, rumah yang megah dan mewah kini telah berganti menjadi bangunan sederhana seperti rumah biasa pada umumnya. Tak ada pelayan dan perhiasan, bahkan tumpukan pakaian yang indah pun berganti dengan dua helai pakaian sederhana. Makanan tak selalu ada, perutnya pun lebih sering kosong. Pada awalnya, memang semua itu terasa sangat memberatkan bagi Fatimah. Namun melihat kearifan dan kezuhudan Umar bin Abdul Aziz, Fatimah semakin kuat dari hari ke hari.
Selain itu Umar menganjurkan agar Fatimah menanggalkan perhiasan yang dikenakannya dan diserahkan kepada Baitul Mal agar jika keadaan rakyat mendesak, maka perhiasan tersebut dapat dijual untuk kepentingan rakyat yang miskin. Fatimah menuruti perkataan sang suami dengan patuh, ia merasa bahagia hidup sederhana. Beliau sadar, harta dan kekayaan itu bagaikan air garam, semakin diminum maka akan semakin haus, bahkan selalu merasa kurang. Umar pun bangga terhadap sikap istrinya ini.
Sikap sederhana dan keikhlasan Fatimah inilah yang membuat Umar bin Abdul Aziz tenang dalam bekerja memimpin pemerintahan. Fatimah yang cerdas selalu mendukung program kerja suaminya yang selalu memikirkan kesejahteraan umat.
Selama menjadi khalifah, gaji Umar sangat minim yaitu hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai seorang istri, Fatimah tidak pernah protes apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Beliau ikhlas dan selalu mendukung suaminya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang shalih, adil, dan sederhana itu tidak lama dalam memerintah, karena Allah sudah memanggilnya. Sang Khalifah sama sekali tidak meninggalkan sesuatu apapun untuk anak istrinya.
Baca Juga: Opu Daeng Risadju
Meski begitu, Fatimah binti Abdul Malik tetap menjaga kesetiaan kepada suaminya meski suaminya sudah tiada. Setelah Umar wafat, Yazid bin Abdul Malik (saudara Fatimah) menjadi khalifah. Yazid menawarkan Fatimah untuk mengambil perhiasan yang dulu diberikannya kepada Baitul Mal. Namun dengan tegas Fatimah menjawab bahwa ia telah menyerahkan semua perhiasan itu ke Baitul Mal karena patuh dengan nasehat Amirul Mukminin. Lantas Fatimah berkata, “Demi Allah tidak! Dulu aku memberikannya semasa Umar hidup, lalu bagaimana mungkin aku mengambilnya kembali setelah beliau wafat?”
Sesungguhnya kehidupan yang bahagia itu adalah kehidupan yang sederhana dan merasa cukup dalam segalanya. Kebahagiaan yang sebenarnya ada dalam keridhaan dan kebebasan yang hakiki. Orang yang kaya bukanlah mereka yang bergelimang harta dan memiliki perhiasan bertahtakan emas dan berlian, namun orang yang kaya adalah mereka yang pandai berderma kepada yang membutuhkan. Itulah kekayaan yang sebenarnya, kekayaan yang bersumber dari hati bukan dari harta duniawi.
Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari akhlak beliau yang mulia ini. Semoga kita bisa mengambilnya dan merealisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu A’lam (majalah an-najma/ adnaw-js)