Ibunda Imam Syafi’i
(Wanita sederhana yang berhasil mencetak seorang ulama terkemuka)
Seorang ibu adalah pintu pembuka bagi pendidikan anaknya. Saat pertama kali seorang anak lahir ke dunia dan membuka mata, maka bisa dipastikan bahwa ibunya lah yang lebih dominan mengajari berbagai hal padanya. Begitulah pentingnya peran seorang ibu dalam mendidik anaknya, karena dari tangannya lahir generasi-generasi penerus estafet kehidupan. Dari tangannya pula nasib pendidikan anaknya akan ditentukan. Pepatah Islam menyebutkan bahwa seorang ibu adalah sebuah madrasah (sekolah) yang pertama untuk buah hatinya. Wanita miskin yang berhasilmencetak seorang ulama terkemuka. Beliaulah ibunda Imam Syafi’i.
Sebagaimana kisah seorang ulama yang satu ini. Di balik keberhasilannya, ternyata ada sosok seorang ibu yang dengan tulus memberinya motivasi untuk terus belajar, sekalipun ekonomi menghimpit kehidupannya. Siapa yang tak kenal dengan Imam Syafi’i?, ketokohan dan kepakarannya telah tersohor seantero dunia. Beliau adalah pendiri salah satu madzhab fikih. Karya-karyanya diakui dan menjadi rujukan utama para ulama.
Lahir dari rahim seorang wanita mulia, beliaulah Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah. Menurut sejarawan, beliau merupakan keturunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan pendapat lain mengatakan beliau adalah keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang menyebutkan bahwa beliau adalah seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi Rahimahullah menegaskan bahwa ibunda Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah, memiliki kecerdasan yang tinggi, faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Beliau adalah madrasah pertama bagi Imam Syafi’i kecil. Sejak berumur dua tahun, beliau terpaksa harus membesarkan buah hatinya itu sendiri lantaran sang suami (Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i) meninggal di Gaza.
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga al-Hakim mengatakan hal ini sebagai isyarat bahwa Imam Syafi’i adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang fikih.
Ibunda Imam Syafi’i adalah sosok yang tegar dan tidak pernah mengeluh. Ketika suaminya wafat, tak sedikit pun harta beliau warisi. Dengan kondisi serba kekurangan, beliau berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak semata wayangnya itu. Keinginannya hanya satu, yaitu beliau berharap kelak buah hatinya menjadi figur hebat dan bermanfaat bagi semua umat manusia.
Ibunda Imam Syafi’i pun berpindah ke Makkah. Kota suci itu dipilih agar beliau bisa mempertemukan Syafi’i dengan keluarga besarnya dari suku Quraisy. Di Makkah, beliau tinggal di daerah dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, beliau mengirimnya agar belajar kepada seorang guru. Sebenarnya beliau tidak mampu untuk membiayainya, tapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatan Imam Syafi’i dalam menghafal. Imam Syafi’i berkata, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Al-Qur’an), aku melihat guru yang mengajar di sana membacakan murid-muridnya ayat Al-Qur’an, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika aku dapat menghafal semua yang guru berikan, beliau berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu’.”
Kemudian dengan segera guru itu mengangkat Imam Syafi’i sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika ia tidak ada. Belum sempat menginjak usia baligh, beliau telah menjadi seorang guru. Begitulah kehidupan Imam Syafi’i dengan ibunya, walaupun dari segi nasab beliau terbilang tinggi dan mulia, namun dari segi ekonomi bisa dikatakan rendah.
Meski begitu, beliau ingin agar anaknya tetap bisa belajar dan menjadi anak sukses. Maka, beliau juga mengirim Imam Syafi’i untuk belajar bahasa Arab langsung dari suku Hudzail. Sebuah kabilah yang konon terkenal dengan kefasihan bahasa Arabnya. Akhirnya Imam Syafi’i bukan hanya dikenal sebagai ahli fikih, melainkan pakar seni sastra dengan kumpulan puisi gubahannya.
Imam Asymal (pakar bahasa Arab) berkata, “Aku membaca syair-syair dari suku Hudzail di depan pemuda dari Quraisy yang bernama Muhammad bin Idris (nama Imam Syafi’i).”
Selain itu Imam Syafi’i juga sudah menghapal Al-Qur’an sejak usia 7 tahun. Sekaligus mulai belajar berbagai ilmu. Begitulah hingga beliau berangkat untuk melanjutkan perjalanan ilmunya di Madinah. Disana Imam Syafi’i berguru kepada guru besar Madinah yang bernama Imam Malik, yang beliau juga merupakan salah satu imam dari empat imam madzhab.
Sebelum Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, Ibunda beliau berdo’a, “Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaan-Mu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu pengetahuan peninggalan utusan-Mu. Oleh karena itu aku mohon kepada-Mu ya Allah, mudahkanlah urusannya, peliharahlah keselamatannya, panjangkan umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu pengetahuan yang berguna, amiin!” baca lainnya
Bukanlah kekayaan harta yang menentukan suksesnya hidup seseorang, tapi kekayaan jiwa. Begitulah salah satu di antara banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah hidup ibunda Imam Syafi’i. Kemiskinan tak membuat beliau merasa tersingkirkan dari dunia ilmu dan pendidikan. Sehingga dengan keimanannya pada Allah Ta’ala, beliau berhasil mencetak seorang ulama’ yang terkemuka. Wallallahu ‘Alam bish Shawab (adnaw-js/ an-najma.com) baca lainnya
[…] Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari akhlak beliau yang mulia ini. Semoga kita bisa mengambilnya dan merealisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu A’lam (majalah an-najma/ adnaw-js) baca juga […]
(Wanita sederhana yang berhasil mencetak seorang ulama terkemuka) kok judul kecilnya terpisah, pakai kurung, dan g kapital awalnya?
jazakumullah sahabat an-najma atas tanggapan untuk artikel kami adapun judulnya yg nampak kecil itu, adalah sub judul dari kategori tokoh wanita kak 🙂 sepertinya itu awalnya kapital kok kak