Fuqaha Gnerasi Tabi’in #2
Atha’ bin Abi Rabah
(Seorang Mufti Makkah Yang Buruk Rupa)
Suatu hari di tahun 97 Hijriyah, seorang khalifah kaum Muslimin melakukan haji ke Baitullah Makkah al-Mukarramah. Beliau berthawaf tanpa menggunakan penutup kepala, tidak beralas kaki, dan hanya mengenakan kain dan selendang yang menutupi tubuhnya. Pada keadaan yang agung ini, status kaum Muslimin sama, tidak ada perbedaan antara tuan dan budak, antara raja dan rakyat kecuali ketaqwaan. Ialah Atha’ bin Abi Rabah. Saat itu sang khalifah berthawaf bersama kedua orang putranya yang hampir mendekati usia baligh.
Setelah selesai melakukan thawaf, sang khalifah menoleh kepada para pengawal dan orang-orang kepercayaannya menanyakan keberadaan salah satu penduduk Makkah. Pengawalnya pun menjawab sambil menunjuk ke arah barat Baitullah, bahwa orang yang dicari khalifah sedang melaksanakan shalat di sana. Orang tersebut adalah orang istimewa sampai-sampai sang Khalifah mencarinya di antara para jamaah haji. Ia adalah Atha’ bin Abi Rabbah, seorang dari kalangan tabi’in yang berasal dari Makkah dan menetap tinggal di Makkah.
Sang khalifah segera menuju ke tempat tersebut dengan diikuti kedua anaknya. Rombongan khalifah ini berjalan di tengah keramaian manusia yang sedang melakukan ibadah haji. Hingga menyebabkan para pengawal khalifah berusaha keras untuk membuka jalan untuk khalifah. Namun sang khalifah tidak suka hal tersebut dan mengisyaratkan untuk menghentikannya. Sebuah sikap yang rendah hati dari sosok seorang pemimpin. Ia adalah Sulaiman bin Abdul Malik, sorang khalifah senior dari dinasti bani Umayyah sekaligus orang yang mengamanatkan kekhalifahan selanjutnya bukan kepada anak-anaknya dan mengamanahkannya kepada Umar bin abdul Aziz.
Sulaiman bin Abdul Malik pun mendatangi Atha’ bin Abi Rabbah di tempat duduknya bersama putra-putranya yang ketika itu sedang mendirikan shalat. Mereka duduk di sekitarnya, menunggu Atha’ menyelesaikan shalatnya yang ketika itu masjidil haram penuh dengan orang-orang yang shalat di belakangnya. Setelah beistighfar, bertasbih, bertahmid dan bertakbir Sulaiman mendekatinya dan mendudukan kedua putranya di dekatnya. Saat itu menjadi momen bagi khalifah untuk bertanya banyak hal mengenai manasik dan haji.
Di saat yang sama, kedua putranya sibuk memikirkan tentang seorang budak hitam dengan hidung pesek, dan berambut keriting yang ada di hadapan mereka, namun mereka juga dibuat takjub dengan kefasihan lisannya dalam menyampaikan hadits dan ilmunya yang tidak pernah habis. Sehingga mengalirlah jawaban dari lisan Atha’ untuk setiap pertanyaan yang diajukan oleh amirul mukminin. Selesai mengajukan pertanyaan dengan Atha’ amirul mukminin beranjak dengan kedua putranya, amirul mukminin menangkap dalam sikap diam kedua putranya terdapat perasaan jijik dan tidak nyaman hati karena pertemuan denganAtha’ dikarenakan sikap Atha’ yang terlihat kurang menaruh hormat kepada khalifah. Menyadari hal itu, raut wajah amirul mukminin langsung berubah kemudian berkata, ”Wahai anakku, orang yang kalian lihat telah merendahkan kita adalah Atha’ bin Abi Rabbah, seorang pemilik fatwa di Makkah dan masjidil haram.” Di tengah perbincangan itu, mereka berdua mendengar pengawal amirul mukminin berseru dengan suara yang keras, ” Wahai sekalian kaum Muslimin… wahai sekalian kaum Muslimin… tidak ada seorang pun yang memberikan fatwa kepada orang-orang di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabbah jika ia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.”
Kedua putra khalifah seketika terkejut dengan pernyataan pengawal tadi. Seakan tidak percaya dengan pengumuman itu. Bagaimana bisa seorang yag buruk rupa, dan cacat menjadi mufti di Makkah. “Wahai putraku, jangan pernah kalian berdua berhenti menuntut ilmu,” Khalifah menyambung pekataannya tadi yang sempat terputus. “Karena aku tidak bisa melupakan kerendahanku di hadapan laki-laki ini, Atha’ bin Abi Rabbah seorang budak hitam”. Inilah salah satu pengakuan khalifah akan mulianya kedudukan Atha’ bin Abi Rabbah disebabkan oleh ilmu yang ia kuasai. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Mujadalah ayat ke sebelas yang artinya, ”Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yamg diberi ilmu beberapa derajat.”
Mufti yang Pernah Menjadi Budak
Atha’ adalah seorang budak berdarah habsy yang dimiliki oleh seorang wanita dari penduduk Makkah. Ia dalah seorang budak hitam, bermata picak yang kemudian menjadi buta, berhidung pesek, bertangan lumpuh dan berkaki pincang. Pada saat menjadi budak ia sangat tulus dalam melayani tuannya. Nama aslinya adalah Aslam, ia dilahirkan pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan di Yaman. Dari Yaman ayahnya membawanya ke Makkah. Di Makkah ia menghabiskan masa kecilnya bersama dengan ayahnya.
Di rumah majikannya, Atha’ melakukan pekerjaaanya dengan sesempurna mungkin, dan di sisa waktu luangnya ia gunakan untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang telah ia pelajari dari para sahabat Nabi yang hidup semasa dengannya dan telah ia reguk ilmunya. Ilmu dan periwayatannya ia ambil dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan seorang pembela Rasulullah, Abdullah bin Zubair. Kesemuanya adalah sahabat senior yang tsiqoh dalam ilmu dan periwayatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia begitu serius mendalami periwayatan dari mereka hingga ilmu dan periwayatan dari mereka menjadi tujuan utamanya. Sampai para ulama ahli fikih menggambarkan bahwa Atha’ adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits karena kesungguhannya dalam menuntut ilmu.
Dari sepenggal kisah ini, terselip hikmah besar. Bahwasanya kemuliaan manusia bukanlah diukur dari kedudukannya di hadapan manusia, atau bahkan dari parasnya. Terbukti bahwa ilmu bisa menjadikan manusia mulia dan dihormati dikarenakan ilmu yang ia cari dengan ikhlas dan mengharap ridha Ilahi. Bahkan pernah menjadi seorang budak pun tak menghalangi kemuliaan yang dimilikinya. Dari kota Nabi, Makkah yang Allah muliakan dengan Ka’bah di dalamnya ada sosok yang Allah muliakan hingga menutupi rupanya yang buruk. Atha’ bin Abi Rabbah, ahli fikih dan mufti Makkah. Wallahu A’lam bish Shawab (Iffah/ an-najma.com) baca part 1
Referensi: Syaikh Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Kisah Para Tabi’in, Ummul Qura: Jakarta Timur,2015.
[…] baca sebelumnya […]
kenapa judul kecilnya mufti makkah yang buruk rupa?
afwan kaka, itu adalah sub judul untuk kategori fuqoha generasi tabi’in,