Wanita dalam Peradaban Yunani
“Peradaban Yunani adalah peradaban yang muncul di daratan Yunani dan kepulauan kecil yang berada di Laut Tengah. Peradaban ini merupakan Leluhur peradaban Eropa. Banyak sejarawan Eropa mengklaim bahwa peradaban Yunani adalah simbol kecerdasan dan kecermatan berfikir. Sejarah ilmu pengetahuan selalu berangkat dari sejarah peradaban Yunani. Sebelum muncul peradaban Yunani seakan manusia belum mengembangkan ilmu pengetahuan.”
Wanita dalam Mitologi Yunani
Meski maju dalam pengetahuan, namun status wanita dalam peradaban Yunani dipandang rendah. Hal ini tercermin dalam mitologi maupun pendapat para filsuf Yunani. Dalam mitologi Yunani, Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan. Pada hari pernikahannya dengan Epimetheus, saudara Prometheus yang pernah mencuri api pengetahuan dari para dewa untuk diberikan kepada manusia. Zeus (dewa tertinggi) memberi hadiah sebuah kotak yang indah. Pandora diperingatkan Prometheus agar tidak membuka kotak tersebut. Karena penasaran, pada suatu hari Pandora membukanya. Setelah dibuka, dari kotak itu keluar berbagai macam keburukan (kejahatan, penyakit, penderitaan). Semua keburukan itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Dari situlah, wanita kemudian dipandang sebagai hukuman Tuhan kepada manusia dan sumber bencana. (Edith Hamilton, Mitologi Yunani, hlm. 54)
Tokoh wanita lain dalam mitologi Yunani adalah Aphodite. Ia adalah dewi cinta, kecantikan, seksualitas, dan kenikmatan. Kecantikan Aphodite menyebabkan para dewa takut akan menimbulkan perpecahan di antara mereka. Oleh karena itu, Zeus menikahkannya dengan Hefaistos, dewa pandai besi yang berwajah jelek. Meski telah menikah, Aphotide melakukan perselingkuhan dengan banyak kekasih, baik dari kalangan dewa maupun manusia. Salah satu kekasih gelapnya adalah Ares sang dewa perang. Akibat hubungan tidak sah ini, lahirlah dewa baru bernama Cupid yang menjadi dewa asmara.
Kekasih gelap Aphotide lainnya adalah Adonis. Ia adalah anak hasil hubungan incest (sedarah) antara Kiniras, raja Siprus, dengan putrinya yang bernama Mirrha. Dikisahkan, ibu Mirrha menyombongkan bahwa putrinya lebih cantik dari Aphodite. Akibatnya, Aphodite menghukumnya dengan menjadikan Mirrha jatuh cinta pada ayahnya sendiri. Mirrha menyamar sebagai seorang pelacur dan bersetubuh dengan ayahnya sampai hamil. Dari hubungan ini, lahirlah Adonis yang tumbuh menjadi pemuda sangat tampan. Aphodite pun jatuh cinta kepada Adonis. (Homer, llliad) baca juga
Kehidupan Wanita dalam Masyarakat Yunani
Mitologi Yunani tentang kehidupan dewa-dewi sangat membekas dalam alam pikiran mereka. Kisah dewi Aphodite sebagai dewi cinta yang sering bergonta-ganti pasangan dan senang melakukan hubungan seksual tanpa aturan, sebenarnya mencerminkan alam pikiran masyarakat Yunani yang juga menyenangi perbuatan tersebut. Oleh karena itu, dalam kehidupan nyata, masyarakat Yunani memandang dan memberlakukan wanita secara hina. Wanita dalam peradaban yunani pula sangat direndahkan.
M. Maloney dalam makalah berjudul The Arguments for Women’s Difference in Classical Philosophy and Early Christianity yang menjadi bagian buku Sarah B. Pomeroy Goddesses, Whores, Wives, and Slaves. Women in Classical Antiquity (hlm. 41-49) menggambarkan kehidupan wanita dalam masyarakat Yunani sebagai berikut.
Dalam masyarakat Yunani, status perempuan sangat rendah. Fungsi utama seorang wanita adalah melahirkan anak, khususnya anak laki-laki. Wanita dikurung dalam rumah orang tuanya sampai datang laki-laki mengawininya di usia belasan tahun. Wanita Athena dari kalangan rakyat biasa kemudian dipindahkan kerumah suaminya untuk menjalankan fungsi utamanya melahirkan dan membesarkan anak.
Anak laki-laki akan dibesarkan untuk menjadi prajurit, terutama pada tahun-tahun setelah perang ketika ada kekurangan pria. Sementara itu, anak perempuan yang telah menjadi gadis biasanya akan dijemput oleh pedagang budak atau pelacur untuk kemudian hidup sebagai budak, pelacur atau keduanya. Pria Athena memiliki berbagai kesempatan untuk memenuhi hasrat seksual mereka. Mereka melampiaskan hasratnya kepada pria remaja, sesama pria dewasa, pelacur, budak wanita maupun istri mereka. Meskipun telah menjadi istri, namun hubungan wanita dengan suaminya tidak dekat. Ia tidak hidup bersosialisasi dengan suaminya, bahkan kehidupannya serba dibatasi.
Para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles mempunyai pandangan negatif terhadap wanita. Plato (427-347 SM) memandang wanita sama dengan binatang dan tidak perlu berpendidikan. Ia mengatakan, “Hanya laki-laki yang diciptakan langsung oleh para dewa dan diberi jiwa.”(Plato, Timaeus 90e)
Tidak berbeda jauh dengan gurunya, Artitoteles (384-322 SM) juga memandang rendah wanita. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk rendah dan tidak sempurna. Ia mengatakan, “Hubungan laki-laki dengan wanita secara alami adalah hubungan antara pihak yang lebih unggul degan pihak yang lebih rendah.” (The Politicus) baca juga
Demikianlah, Merendahkan wanita menjadi sikap umum dalam masyarakat Yunani, dari kalangan rakyat jelata, filsuf hingga bengsawan mereka. Wallahu A’lam bish Shawab (Ustadz Isa Anshori/ an-najma.com)