Peradaban Hindu adalah peradaban yang lahir dan berkembang di Hindustan. Hindustan sendiri merupakan nama lain dari negeri India. Hindu-Stan berasal dari dua kata, yaitu Hindu dan Stan yang berasal dari “Tanah Hindu” atau “ Bangsa atau wilayah para Hindu”. Kata “Hindu” mengacu pada asalkata “Indus” yang mengawali penamaan “India”, “Indo” dan “Hindu”, dan kata “Stan” yang berarti “Tanah” atau “Bangsa”. Jadi, makna dari kata “Hindustan” itu berarti “Tanah para Hindu” yang menjadi nama lain dari bangsa India. Wanita dalam peradaban Hindu sangat mengenaskan dengan segala hinaan bahkan direndahkan.
Agama yang muncul dari negeri tersebut disebut agama Hindu. Pada mulanya, nama agama Hindu digunakan bukan hanya untuk menyebut agama yang membagi masyarakat menjadi empat kasta, tetapi mencakup juga agama Budha yang lahir untuk menolak kasta. Oleh karena itu, peradaban Hindu yang dimaksud dalam artikel singkat ini adalah peradaban yang berasal dari India yang dibangun di atas nilai-nilai agama Hindu dan Budha serta sinkresitasasi dari keduanya. Meskipun berasal dari India, peradaban Hindu dalam sejarahnya pernah mengembangkan pengaruhnya ke luar India, termasuk ke Indonesia.
Nafsu Seksual Merajalela
Nafsu seksual menempati kedudukan istimewa dalam agama dan masyarakat India sejak zaman kuno. Barangkali tidak ada masalah-masalah seksual dan rangsangan nafsu syahwat yang begitu dalam merasuk ke dalam inti ajaran suatu agama dalam suatu negeri seperti dialami negeri India. Kitab-kitab India maupun berbagai medium keagamaan yang menyatakan sifat-sifat Tuhan, terjadinya peristiwa-peristiwa besar serta sebab-sebab kejadian alam mengutip juga berbagai riwayat dan kisah tentang hubungan seksual di antara para dewa serta penyerbuan mereka terhadap lembaga-lembaga keagamaan yang membuat para pendengarnya menutup telinga dan mengerutkan dahi lantaran malu. Jelaslah hal ini sangat mempengaruhi pemikiran para pemeluknya yang setia yang selalu mengulang-ulang cerita itu dengan penuh percaya dan fanatisme keagamaan serta meresapinya dengan sepenuh perasaan jiwanya.
Selain itu, mereka menyembah alat kelamin yang dilukiskan dengan gambaran yang paling menjijikan, ditunjukan kepada dewa mereka yang paling mulia, yaitu Mahadewa. Dalam acara itu, hadir segenap penduduk; baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Sebagian ahli sejarah juga menceritakan bahwa kaum laki-laki dari sebagian sekte agama menyembah perempuan-perempuan telanjang, sementara kaum wanitanya pun menyembah laki-laki telanjang.
Di biara-biara, para pendeta jahat dan para petualang berbuat mesum dengan para biarawati dan peziarah wanita. Akibatnya, banyak tempat peribadatan menjadi sarang pelacuran tempat para petualang mencari mangsanya dan orang jahat yang melampiaskan nafsunya. Jika hal ini terjadi di rumah-rumah suci peribadatan dan keagamaan, lantas bagaimana yang terjadi dibalik dinding istana para para raja dan orang-orang kaya? Di sana kaum laki-lakinya berlomba-lomba dalam melampiaskan nafsu seksualnya yang keji dan menjijikan. Ada pula klub-klub pergaulan bebas yang terdiri dari kaum elit laki-laki dan perempuan. Saat sudah tenggelam dalam pengaruh rangsangan arak, mereka campakkan semua rasa malu dan harga diri. (Abul Hasan Ali An-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, hlm. 81-82) baca juga
Kedudukan Kaum Wanita
Dalam peradaban Hindu, kaum wanita diperlakukan sebagai hamba sahaya. Wanita sering dipertaruhkan oleh suaminya dalam arena perjudian. Sering pula seorang perempuan mempunyai beberapa suami. Jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, maka dunia menjadi gelap gulita baginya bagaikan dikubur hidup-hidup karena ia tidak boleh kawin lagi. Ia akan menjadi sasaran cemoohan dan hinaan. Ia harus menjadi hamba sahaya di rumah mendiang suaminya dan pelayan bagi teman-temannya. Rambutnya digundul, bahkan ia tidak diperkenankan menghadiri sebuah perayaan. (hlm.85-86)
Sering kali seorang janda membakar diri sepeninggal suaminya demi menebus kesengsaraan hidup di dunia. Tradisi ini disebut sati. Berdasarkan ajaran Hindu, seorang janda yang dibakar dengan jasad suaminya akan masuk surga bersama. Sati diyakini lebih baik daripada hidup dalam keadaan janda. (Babita and Sanjay Tewari, The Historyof Indian women, hlm. 37-38)
Selain sati, ada tradisi lain yang disebut jauhar. Tradisi jauhar memiliki kesamaan denga sati, tetapi tradisi ini merupakan bunuh diri para istri secara masal ketika suami mereka masih hidup. Jauhar adalah tradisi masyarakat Rajput. Para istri mengorbankan diri mereka dengan cara membakar diri ketika para suami akan berperang. Hal ini diyakini menjadi pelindung kesucian perempuan dan seluruh kaum. (hlm. 37) yuk baca juga
Wanita juga sering dibunuh untuk dipersembahkan kepada dewa. Misalnya yang dilakukan dalam ritual aliran Bhairawa. Ritualnya bersifat rahasia dan sangat mengerikan, yaitu menyembelih perawan sebagai persembahan kepada dewa, kemudian meminum darahnya bersama, yang dilanjutkan dengan makan dan minum bersama. Setelah itu, para peserta ritual melakukan persetubuhan masal, yang kemudian diikuti dengan semedi. Aliran ini dahulu pernah berkembang di Nusantara pada zaman kerajaan Singasari dan Majapahit. Wallahu A’lam bish Shawab (Ustadz Isa Anshori/ an-najma.com)
[…] telusuri lainnya […]
wah…benar-benar hanya islam yang mengangkat kedudukan wanita dengan baik