Hukum Operasi Mati Syahid

0

An-Najma kali ini akan membahas tentang hukum operasi mati syahid boleh tidak? Yuk baca artikelnya

Pendahuluan

Imam Al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:

Mengenai bunuh diri, hukumnya tidak ada seorangpun yang tidak mengetahuinya, dan bunuh diri ini adalah merupakan salah satu dari dosa-dosa besar yang Alloh ancam pelakunya dengan ancaman yang keras.

مَنْ تَرَدَّى مِنْ حَبْلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيْهَا خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسَمَّهُ فِيْ يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا

Barang siapa mengenakan tali lalu bunuh diri (dengan tali itu) maka dia akan masuk naar (neraka) jahannam, di sana dia akan mengenakan tali tersebut kekal selama-lamanya, dan barang siapa meminum racum, lalu dia bunuh diri dengan (racun tersebut), maka ia akan minum racun itu dengan tangannya di naar (neraka) jahannam kekal selama-lamanya.

Dan Al-Jamaa’ah (Al-Bukhari, Muslim,  At-Tirmidziy, Abu Dawud, Ibnu Majah dan An-Nasaai) meriwayatkan dari Tsaabit bin Adh-Dhahaak radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barang siapa bunuh diri dengan sesuatu, ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari qiyamat.

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasallam berjumpa dengan orang-orang musyrik lalu mereka saling membunuh. Kemudian tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam kembali kepada pasukan beliau, dan yang lain (orang-orang musyrik) kembali ke pasukan mereka, sedangkan di antara sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam ada seseorang yang tidak membiarkan orang dari kalangan musuh yang Asy-Syaadz ataupun al-Faadz[1] kecuali ia kejar dan ia tebas dengan pedang. Lalu ada seseorang yang mengatakan: Pada hari ini tidak ada seorangpun di antara kita yang keberaniannya melebihi keberanian si fulan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:

أَمَّا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

Adapun orang tersebut, dia adalah termasuk penghuni naar (neraka).

Maka ada seseorang yang berkata: Saya adalah kawannya. Ia (rowi hadits yaitu Sahl bin Sa’ad) mengatakan: Ia (kawannya tersebut) keluar bersama si fulan tersebut, setiap kali si fulan itu berhenti iapun berhenti bersamanya, dan jika si fulan itu bergerak cepat iapun bergerak cepat bersamanya, ia mengatakan: Kemudian si fulan itu terluka parah, lalu ia mempercepat kematiannya, ia letakkan pedangnya di tanah lalu ia mengarahkan pedangnya tersebut di antara dada kanan dan dada kirinya, lalu dia menekankan dirinya di atas pedangnya, maka iapun bunuh diri, di dalam hadits tersebut disebutkan bahwasanya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam mendengar kematian si fulan itu, beliau bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ, وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Sesungguhnya ada orang yang manurut pandangan manusia dia benar-benar beramal dengan amalan penghuni jannah (syurga) padahal dia adalah penghuni naar (neraka), dan sesungguhny ada orang yang menurut pandangan manusia ia benar-benar beramal dengan amalan penghuni naar (neraka) padahal dia adalah penghuni jannah (syurga).

Juga di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan secara marfuu’:

كَانَ فِيْمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ فَأَخَذَ سِكِّيْنًا فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ فَمَا رَقَأَ الدَّمَ حَتَّى مَاتَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: بَادَرَنِيْ عَبْدِيْ بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Dahulu ada seseorang sebelum kalian yang terluka, lalu dia tidak sabar (putus asa) maka iapun mengambil sebuah pisau lalu dia potong tangannya dengan pisau tersebut, lalu darahnya terus mengalir sampai dia mati, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: HambaKu mendahului-Ku, maka Aku haramkan jannah (syurga) baginya.

Dan hadits-hadits yang senada dengan ini banyak …

Baca Juga: Teungku Fakinah

Hadits-hadits tersebut mengandung ancaman yang keras bagi orang yang melakukan bunuh diri dan bahwasanya tindakan tersebut perupakan perbuatan haram, bahkan merupakan dosa besar, dan sebagian dari hadits-hadits tersebut menyebutkan bahwa pelaku bunuh diri akan kekal di naar (neraka) jahannam selama-lamanya, dan sebagian lagi menyebutkan bahwasanya orang yang melakukan bunuh diri telah diharamkan masuk jannah (syurga). Namun telah kita ketahui bersama bahwasanya Ahlus Sunnah mengecualikan orang-orang yang bertauhid dari ungkapan-ungkapan yang umum semacam ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni orang yang menyekutukanNya dan IA akan mengampuni selain itu bagi siapa saja yang IA kehendaki.(QS. AnNisaa’: 48,11)

Hukum Operasi Mati Syahid (‘Amaliyat Istisyhadiyah) Menurut Tinjauan Syar’i

Dapat kita pahzami bahwasanya di sana ada perbedaan yang tidak boleh diabaikan bagi orang yang mau menimbang dengan timbangan kebenaran dan tidak mau berbuat curang, antara orang yang bunuh diri lantaran putus asa dari rahmat Alloh atau lantaran tidak menerima taqdir-Nya  atau lantaran tidak sabar menanggung luka atau penyakit yang dideritanya atau yang lainnya, dengan permasalahan yang ditanyakan di sini, yaitu orang-orang yang meledakkan diri dengan bahan peledak dalam rangka untuk memberikan pukulan yang besar kepada musuh-musuh Alloh.

Jika mereka yang melakukan aksi seperti ini adalah orang-orang yang bertauhid, dan berperang di jalan Alloh, dan di bawah bendera Islam, bukan di bawah bendera golongan atau jahiliyah, maka kami berlindung kepada Alloh untuk menganggap amalan mereka ini sebagai amalan yang tidak benar, atau menyamakan mereka dengan orang yang bunuh diri lantaran putus asa dari rahmat Alloh atau lantaran tidak sabar terhadap luka yang dideritanya atau lantaran yang lain, sehingga kami menganggap mereka kekal di naar (neraka) jahannam atau telah diharamkan untuk masuk jannah (surga)[2]. Karena sesungguhnya rahmat Alloh terhadap hamba-hamba-Nya yang bertauhid itu sangatlah luas, dan Dia adalah yang Maha adil dari orang-orang yang paling adil, yang tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang berbuat baik dan tidak akan mengurangi amal sholih yang dikerjakan orang-orang beriman secara ikhlas, karena imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits di dalam kitab Shahihnya, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Ath-Thufail bin ‘Amr Ad-Duusiy telah berhijroh kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah bersama seseorang dari kaumnya, namun ia tidak cocok dengan udara di Madinah sehingga ia sakit dan tidak sabar dengan penyakitnya. Kemudian ia mengambil anak panahnya yang bermata lebar lalu ia potong ruas jarinya sehingga kedua tangannya mengeluarkan darah sampai ia mati. Kemudian Ath-Thufail bin ‘Amr bermimpi melihatnya dalam keadaan  baik, dan Ath-Thufail melihatnya menutupi kedua tangannya. Maka Ath-Thufail pun bertanya kepadanya: Apa yang dilakukan oleh Rabb (tuhan) mu kepadamu? Maka ia menjawab: Dia mengampuni dosaku lantarah aku berhijroh menuju Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu Ath-Thufail bertanya lagi: Kenapa kulihat engkau menutupi kedua tanganmu? Ia menjawab: Telah dikatakan kepadaku; Kami tidak akan memperbaiki apa yang telah kau rusak. Maka Ath-Thufail pun menceritakan mimpinya tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliaupun pun bersabda:

اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ

Ya Alloh ampunilah juga kedua tangannya.

Abu Muhammad Al-Maqdisi berkata, “Sesungguhnya meskipun para pelaku aksi-aksi semacam ini tidak sama dengan orang-orang yang bunuh lantaran tidak ada harapan lagi untuk hidup atau lantaran tidak bisa menerima taqdir Alloh dan tidak sabar dengan luka yang dideritanya, ketidaksamaan semacam ini saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan aksi-aksi dalam bentuk semacam ini, atau untuk pembenaran secara syar’i karena meskipun aksi-aksi semacam ini tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang diancam di dalam nash-nash yang mencela dan mengancam orang yang mendahului kematian lantaran putus asa atau lantaran pedihnya luka yang dideritanya, namun sesungguhnya aksi-aksi semacam ini tidak keluar dari keumuman nash yang mencela dan mengancam dengan keras orang yang melakukan bunuh diri, yang di antaranya adalah hadits yang telah disebutkan di depan, yang berbunyi:

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa melakukan bunuh diri dengan sesuatu ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari qiamat.

Dan hadits ini dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits ini adalah sama dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا {29} وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرًا {30}

Dan janganlah kalian membunhu diri kalian sendiri, sesungguhnya Alloh itu Maha Pengasih kepada kalian. Dan barang siapa melakukan hal itu secara melampaui batas dan dholim maka kelak Kami akan masukkan dia ke dalam naar (neraka), dan hal itu bagi Alloh adalah sesuatu mudah. (An Nisaa’: 29-30)

Ini semua adalah nash-nash yang bersifat umum dan qoth’i yang menunjukkan atas haramnya membunuh jiwa yang dilarang untuk dibunuh. Dan sama sekali tidak dihalalkan atau diperbolehkan untuk mengecualikan sesuatu dari nash-nash yang bersifat umum tersebut kecuali sesuatu yang memang dikecualikan oleh syariat, sedangkan orang-orang yang melakukan aksi-aksi semacam ini (aksi istisyhadiyah), mereka mengaku telah lama mempelajari dan merenungkan nash-nash semacam ini sebelum memberikan fatwa semacam ini atau sebelum melakukannya, karena menurut kaum muslimin tujuan itu tidak dapat menghalalkan segala cara, karena kita bukanlah Mecchaviliyyuun[3], dan hendaknya sarana yang digunakan itu adalah sarana yang syar’i sebagaimana tujuannya, dan hendaknya mereka mengetahui bahwasanya pendapat yang benar itu bukanlah pendapat yang paling keras akan tetapi adalah pendapat yang benar adalah pendapat yang paling sesuai dengan dalil , dan hendaknya mereka ingat bahwasanya seseorang itu tidak mempunyai tujuh nyawa sehingga ia dapat mencoba di sini dan mencoba di sana, akan tetapi ia hanya mempunyai satu nyawa sehingga hendaknya dia berusaha agar dapat mengorbankannya untuk taat kepada Alloh dan untuk mendapatkan ridha-Nya berdasarkan penjelasan dan perintah-Nya. Wallahu A’lamu bish Shawab


[1]Asy-Syaadz adalah orang yang memisahkan diri dari sebuah kelompok, sedangkan al-faadz adalah orang yang sendirian yang sebelumnya belum pernah bergabung dengan sebuah kelompok. (pentj.)

[2]Sebagaimana kami juga tidak memastikan -setelah terputusnya wahyu- bahwasanya mereka itu akan masuk jannah (syurga) atau mereka itu mati syahid, dan dalam masalah ini silahkan kaji Shahih Al-Bukhari, Bab: Tidak boleh mengatakan: Si Fulan telah mati syahid, akan tetapi kami memohon kepada Alloh supaya menempatkan mereka di dalam kedudukan syuhada’ (orang-orang yang mati syahid), dan hal ini tidak bertentangan dengan diperlakukannya orang bertauhid yang mati di dalam medan perang sebagaimana memperlakukan yang dilakukan terhadap orang yang mati syahid, sehingga dia tidak dimandikan, tidak disholatkan dan dikafani dengan pakaian yang dikenakannya, karena hukum yang berlaku di dunia ini adalah berdasarkan perkiraan yang kuat.

[3] – Paham ini dinisbahkan kepada Niccola Macchiavelli, penulis buku Al Amiir (Raja) yang mana di antara kaidah yang ia buat untuk para raja yang paling terkenal berbunyi: Tujuan itu dapat menghalalkan segala cara.

Leave A Reply

Your email address will not be published.