Bicara PHK dalam Fikih
PHK menjadi satu momok tersendiri yang menghantui para karyawan, buruh atau pekerja. Perasaan pahit acapkali harus dialami sebab kehilangan mata pencaharian utama dan untuk mencari pekerjaan yang baru bukanlah perkara yang mudah, ditambah lagi dengan beban hidup keluarga yang harus ditanggung. Di sisi lain, pihak perusahaan memiliki pertimbangan terkait dengan perputaran roda bisnis yang sedang diurusi. Lantas bagaimanakah syariat islam memandang persoalan PHK ini?
STATUS BURUH, PEKERJA ATAU KARYAWAN
Nota kesepakatan kerja dalam syari’at Islam secara umum dapat digolongkan ke dalam transaksi perjanjian sewa-menyewa (al- ijarah), yang termuat didalamnya makna wakalah (perwakilan) dan amanah. Lebih spesifik lagi masuk dalam kategori ijaratul a’mal, yaitu transaksi sewa-menyewa yang objeknya berupa melakukan pekerjaan, seperti membuat bangunan, menjahit, servis dan semisalnya.
Al- ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadhu (ganti). Oleh sebab itu ats-tsawab (pahala) dinamai ajru (upah). Sedangkan dalam pengertian syara, al-ijarah adalah suatu bentuk transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian). Ijarah disyari’atkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. (Fikih sunah, 1/138)
Dalam istilah fiqih Islam pihak yang melakukan pekerjaan disebut ajir yang terdiri dari ajir khas yaitu seseorang atau beberapa orang yang bekerja pada seseorang tertentu, dan ajir musytarak yaitu orang-orang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan orang yang memperoleh manfaat dari pekerjaan ajir (pemberi kerja) disebut musta‟jir (Fiqh Islam wa Adillatuhu, 4/766).
Kesepakatan ini dibangun atas dasar transaksi muawadhah (profit atau timbal balik). Artinya ada proses serah terima secara bergantian dari pelaku transaksi sebagai wujud kompensasi atas kemanfaatan yang didapatkan. Maka tidak sama antara budak dan buruh atau pekerja atau karyawan. Objek yang berhak di terima musta’jir adalah manfaat atau jasa. Sementara dalam kasus budak, secara personal diri budak adalah milik tuannya.
Melihat dari bentuknya yang tergolong dalam transaksi ijarah, tentunya ada ketentuan dan kaidah tersendiri yang harus terpenuhi dan mengikat. Diantara adalah unsur-unsur pembentuknya berupa rukun berikut dengan syarat-syarat serta kaidah yang lain, termasuk diantaranya persoalan pembatalan dan berakhirnya transaksi.
MENYOAL PHK
PHK jika dikembalikan kepada pengertiannya menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha (Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka (25).
Berangkat dari definisi diatas, terjadinya PHK bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pada intinya secara umum adanya PHK menandai berakhirnya nota kesepakatan kerja. Dalam fiqih disebut dengan istilah fasakh.
Transaksi ijarah sifat dasarnya adalah lazim atau mengikat. Artinya transaksi yang telah disepakati dan dilakukan tidak dapat dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lain (Al-Madkhal fil Fiqh al-‘Am, 1/521). Artinya pembatalan transaksi sah atas persetujuan kedua belah pihak, kecuali memang didapati faktor-faktor yang mengharuskan terjadi fasakh seperti meninggalnya pelaku, rusaknya objek, iqalah dan berakhirnya masa ijarah (Al-Wajiz fil Fiqh al-Islami, 2/133-134).
Di sisi lain, meskipun sifat dasarnya lazim, jika ada poin kesepakatan yang disetujui kedua belah pihak. Maka kelaziman transaksinya menjadi terikat dengan poin yang disepakati. Sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا ، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Orang Muslim itu terikat oleh syarat-syarat yang mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram” (HR. Turmudzi, 1352).
Termasuk yang harus diperhatikan adalah, jangan sampai ada kezaliman kepada pekerja. Syaikh shalih al-Munajjid mengingatkan bahwa salah satu bentuk kezhaliman di tengah masyarakat adalah tidak memberikan hak-hak para pekerja sebagaimana mestinya. Bisa jadi dengan menguranginya, atau menunda-nundanya atau memberi tugas lemburan tanpa memberi kompensasi lembur dan semisalnya (Muharramat Istahana bihan Nas, 37-38). Padahal Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam mengingatkan:
Baca Juga: Wanita Memakai Kulot Boleh Gak Sih?
قَالَ اللّه: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِه أَجْرَهُ
“Allah Ta’ala berfirman, “Tiga jenis (manusia) yang Aku menjadi musuhnya kelak pada Hari Kiamat; Laki-laki yang memberi dengan namaKu lalu berkhianat, laki-laki yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan harga uang hasil penjualannya dan laki-laki yang mempekerjakan pekerja, yang mana ia memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari, 2227).